Bagi
sebagian orang, menunggu adalah hal yang paling membosankan. Tapi tidak bagi
Bianca saat ini. Ya, menunggu bersama dengan Benua adalah hal paling
menyenangkan sekaligus paling mendebarkan yang pernah Bianca alami.
Ya,
Bianca menyukai benua, Bianca menyukai semua hal tentang Benua, cara Benua
bicara, cara Benua Berfikir, cara Benua bertindak benar-benar mampu membuat
hati Bianca leleh.
Benua
memang tak setampan Belden atau Borneo, matanya sipit, jika tersenyum matanya
tertutup dan hanya membentuk garis, pipinya berlesung pipit, ia berwajah oriental, berkacamata minus dan
berambut klimis. Namun Bianca suka, setiudaknya Benua terlihat lebih dewasa
ketimbang dua lelaki perusak suasana kelas itu.
Besok tepat acara lomba kreatifitas kelas
dilaksanakan. Lomba ini diadakan dalam rangkaian acara memperingati ulang tahun
sekolah. Lomba kreatifitas kelas adalah lomba dimana siswa-siswi perkelas
diharuskan menunjukan kekompakannya, entah dalam pagelaran seni, kemampuan
akademik, olahraga dan yang paling penting adalah kegiatan kunjung kelas (
kunjung kelas adalah kegiatan dimana kelas yang paling banyak di kunjungi akan
mendapat hadiah menarik dari bapak kepala sekolah. Setiap kelas wajib membuat
kelas sekreatif mungkin, entah ngadain bazaar, buka café, atau apapun supaya
kelas mereka banyak dikunjungi. Setiap kelas di jaga satu guru yang juga wali
kelas mereka yang bertugas menghitung pengunjung yang datang).
Benua
yang sebagai ketua OSIS dan Bianca sebagai ketua dari seluruh ketua kordinator
kelas, diberi tugas untuk menjadi MC pada acara pembukaan besok. Untuk membuat
acara seperfect mungkin, Pak Budi menyuruh mereka untuk kembali berlatihan
berdua dirumahnya.
Sayang,
dirumah hanya ada pembantunya, Pak Budi sedang tidak dirumah. Benua dan Bianca
mencoba menghubungi Pak Budi beberapa kali, namun nomer HPnya tak aktif. Sang
pembantu juga berusaha menghubungi nyonya, namun sama saja tak dapat dihubungi.
Sepertinya
Pak Budi melupakan janjinya dengan Bianca dan Belden.
“Bibi
ke belakang dulu ya! Kalau ada perlu panggil saja jangan sungkan, silahkan
diminum dan dicicipi makananya!” Seru sang pembantu ramah.
Bianca
dan Beldeng mengangguk, “Makasih Bi!”
Sepeninggal
bibi suasana agak sedikit kaku. Mungkin karena tak terbiasa bersama, yap,
mereka tak pernah bersama dan tak pernah ada diposisi seperti saat ini. Hanya berdua,
ya, hanya berdua.
“Kamu
gak apa-apa kan kalo kita tunggu Pak Budi!”
Jelas
gak apa-apa, jelas Bianca senang, ini yang Bianca tunggu-tunggu. Saat Bianca
hanya berdua dengan Benua, Bianca tersenyum, “Gua sih oke-oke aja!” Seru Bianca
bersikap senormal mungkin.
Lama
mereka terdiam satu sama lain,
Dan,
tanpa terduga lampu mati.
Jelas
Bianca ketakutan, refleks ia langsung memeluk lengan Benua erat, tangannya
bergetar, “Boleh kan gua minjem tangan lu!” seru Bianca gugup.
“Bi,
Kamu kenapa?” Benua memberi cahaya dengan HPnya.
Bianca
menggigit bibirnya, berusaha menahan ketakutannya.
“Maaf
mas, neng, ini bibi bawakan lilin!” seru si Bibi sambil meletakkan lilin di
meja.
Benua
mengangguk, “Iya, makasih Bi!” Seru Benua yang kemudian memegang kening, lalu
pipi Bianca.
“Bi,
bisa tidak, saya meminta lebih banyak lilin!” Seru Bianca masih dengan
kegugupannya.
Benua
menatap Bianca, terlihat jelas diwajah Bianca, Bianca sedang tidak dalam
keadaan baik-baik saja.
“Maaf
neng, lilinnya habis, ini bibi mau beli.
Tangan
kanan Bianca meraih tasnya kemudian menggambil uang dari dompetnya, sedang
tangan kirinya tetap memegang erat lengan Benua.
“Bi,
ini uangnya!”
“Terima
kasih neng, tapi untuk beli lilin mah bibi juga punya, jadi tidak usah
repot-repot!”
“Nggak!”
Bianca menggeleng-gelengkan kepalanya, “Sama sekali gak repot, bibi harus beli
lilin yang banyak supaya bisa memastikan ruangan ini gak gelap!”
Sibibi
mengerutkan kening, Bianca menyodorkan uang satu lembar Rp. 50.000,- . mau
tidak mau si bibi meraihnya, kemudian berlalu meninggalkan mereka bedua
kembali.
“Bi,
kamu gak baik-baik saja kan?”
“Gua
phobia gelap!” Seru Bianca sambil menghapus air matanya. “Dada gua sakit kalo
gelap, berasa pengap dan takut aja bawaannya!”
“Sekarang kamu masih takut?”
“Sedikit!”
Bianca mencoba bersikap senormal mungkin ditengah rasa takutnya, ia tak mau
terlihat lemah dihadapan orang yang dia suka.
Benua
mendekat, tangannya kemudian memegang Bianca. kehangatan pelan-pelan menjalar
ke seluruh tubuh, Benuapun merangkul Bianca. Debaran hati Bianca berdetak
beberapa kali lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa, Bianca merasa lebih
baik, ia merasa lebih tenang.
“Gimana?
Masih takut!”
Bianca
menggeleng, ia tersenyum, jika hterus seperti ini, gelap selamanyapun Bianca rela.
Benua
tersenyum, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, “KAmu ini aneh!”
<><><><*********><><><>
No comments:
Post a Comment