Pages

Wednesday 21 December 2011

Only You #9


Bagi sebagian orang, menunggu adalah hal yang paling membosankan. Tapi tidak bagi Bianca saat ini. Ya, menunggu bersama dengan Benua adalah hal paling menyenangkan sekaligus paling mendebarkan yang pernah Bianca alami.
Ya, Bianca menyukai benua, Bianca menyukai semua hal tentang Benua, cara Benua bicara, cara Benua Berfikir, cara Benua bertindak benar-benar mampu membuat hati Bianca leleh.
Benua memang tak setampan Belden atau Borneo, matanya sipit, jika tersenyum matanya tertutup dan hanya membentuk garis, pipinya berlesung pipit,  ia berwajah oriental, berkacamata minus dan berambut klimis. Namun Bianca suka, setiudaknya Benua terlihat lebih dewasa ketimbang dua lelaki perusak suasana kelas itu.
Besok  tepat acara lomba kreatifitas kelas dilaksanakan. Lomba ini diadakan dalam rangkaian acara memperingati ulang tahun sekolah. Lomba kreatifitas kelas adalah lomba dimana siswa-siswi perkelas diharuskan menunjukan kekompakannya, entah dalam pagelaran seni, kemampuan akademik, olahraga dan yang paling penting adalah kegiatan kunjung kelas ( kunjung kelas adalah kegiatan dimana kelas yang paling banyak di kunjungi akan mendapat hadiah menarik dari bapak kepala sekolah. Setiap kelas wajib membuat kelas sekreatif mungkin, entah ngadain bazaar, buka café, atau apapun supaya kelas mereka banyak dikunjungi. Setiap kelas di jaga satu guru yang juga wali kelas mereka yang bertugas menghitung pengunjung yang datang).
Benua yang sebagai ketua OSIS dan Bianca sebagai ketua dari seluruh ketua kordinator kelas, diberi tugas untuk menjadi MC pada acara pembukaan besok. Untuk membuat acara seperfect mungkin, Pak Budi menyuruh mereka untuk kembali berlatihan berdua dirumahnya.
Sayang, dirumah hanya ada pembantunya, Pak Budi sedang tidak dirumah. Benua dan Bianca mencoba menghubungi Pak Budi beberapa kali, namun nomer HPnya tak aktif. Sang pembantu juga berusaha menghubungi nyonya, namun sama saja tak dapat dihubungi.
Sepertinya Pak Budi melupakan janjinya dengan Bianca dan Belden.
“Bibi ke belakang dulu ya! Kalau ada perlu panggil saja jangan sungkan, silahkan diminum dan dicicipi makananya!” Seru sang pembantu ramah.
Bianca dan Beldeng mengangguk, “Makasih Bi!”
Sepeninggal bibi suasana agak sedikit kaku. Mungkin karena tak terbiasa bersama, yap, mereka tak pernah bersama dan tak pernah ada diposisi seperti saat ini. Hanya berdua, ya, hanya berdua.
“Kamu gak apa-apa kan kalo kita tunggu Pak Budi!”
Jelas gak apa-apa, jelas Bianca senang, ini yang Bianca tunggu-tunggu. Saat Bianca hanya berdua dengan Benua, Bianca tersenyum, “Gua sih oke-oke aja!” Seru Bianca bersikap senormal mungkin.
Lama mereka terdiam satu sama lain,
Dan, tanpa terduga lampu mati.
Jelas Bianca ketakutan, refleks ia langsung memeluk lengan Benua erat, tangannya bergetar, “Boleh kan gua minjem tangan lu!” seru Bianca gugup.
“Bi, Kamu kenapa?” Benua memberi cahaya dengan HPnya.
Bianca menggigit bibirnya, berusaha menahan ketakutannya.
“Maaf mas, neng, ini bibi bawakan lilin!” seru si Bibi sambil meletakkan lilin di meja.
Benua mengangguk, “Iya, makasih Bi!” Seru Benua yang kemudian memegang kening, lalu pipi Bianca.
“Bi, bisa tidak, saya meminta lebih banyak lilin!” Seru Bianca masih dengan kegugupannya.
Benua menatap Bianca, terlihat jelas diwajah Bianca, Bianca sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
“Maaf neng, lilinnya habis, ini bibi mau beli.
Tangan kanan Bianca meraih tasnya kemudian menggambil uang dari dompetnya, sedang tangan kirinya tetap memegang erat lengan Benua.
“Bi, ini uangnya!”
“Terima kasih neng, tapi untuk beli lilin mah bibi juga punya, jadi tidak usah repot-repot!”
“Nggak!” Bianca menggeleng-gelengkan kepalanya, “Sama sekali gak repot, bibi harus beli lilin yang banyak supaya bisa memastikan ruangan ini gak gelap!”
Sibibi mengerutkan kening, Bianca menyodorkan uang satu lembar Rp. 50.000,- . mau tidak mau si bibi meraihnya, kemudian berlalu meninggalkan mereka bedua kembali.
“Bi, kamu gak baik-baik saja kan?”
“Gua phobia gelap!” Seru Bianca sambil menghapus air matanya. “Dada gua sakit kalo gelap, berasa pengap dan takut aja bawaannya!”
“Sekarang kamu masih takut?”
“Sedikit!” Bianca mencoba bersikap senormal mungkin ditengah rasa takutnya, ia tak mau terlihat lemah dihadapan orang yang dia suka.
Benua mendekat, tangannya kemudian memegang Bianca. kehangatan pelan-pelan menjalar ke seluruh tubuh, Benuapun merangkul Bianca. Debaran hati Bianca berdetak beberapa kali lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa, Bianca merasa lebih baik, ia merasa lebih tenang.
“Gimana? Masih takut!”
Bianca menggeleng, ia tersenyum, jika hterus seperti ini, gelap selamanyapun Bianca rela.
Benua tersenyum, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, “KAmu ini aneh!”


<><><><*********><><><>

No comments:

Post a Comment