Pages

Sunday, 25 December 2011

Aku "Bicara sebagai Seorang PErempuan Dewasa"


Tak terasa, ini natal ke 5 aku memilih berada disampingnya. Hmmm, aku tak pernah menyangka bisa selama ini. Tapi jujur aku bahagia… ya, aku bahagia ada disampingnya. Setidaknya, dengan adanya dia aku bisa lebih tenang, ya dia selalu berusaha mengerti aku serumit apapun aku.
Banyak yang kita alami, banyak yang menjadi ganjalan hidup kita. Ya, aku dan dia berbeda, sangat berbeda.
Tidak hanya soal pikiran dan gaya hidup. Tapi hal yang paling mendasarpun kita berbeda. Yap agama. Hal yang amat sangat sentimental jika dibahas dan hal yang membuat aku memutuskan untuk tidak bersama lagi ketika 2008, namun, ternyata keputusan itu hanya bertahan kurang dari 1 tahun karena ternyata baik aku dan ataupun dia, tak mampu untuk bilang “Aku Tidak Membutuhkan”. Padahal setelah lulus SMA kami tak hanya terpisah kota, kami terpisah waktu, dan benua, ya, dia memilih Inggis sebagai tempat menimba ilmu. Ya dia memang tipikal orang yang serius dengan tujuan hidupnya, dia memilih kuliah di jurusan “Politics & International Relations” di University of Aberdeen” Inggris. Dia memilih kuliah di jurusan itu bukan tanpa alasan. Saat itu kami memang belum berfikir panjang, belum sampai ke pikiran-pikiran mendasar soal aspek-aspek penting dalam menjalani hidup dan kehidupan. Ya, dia meneruskan cita-cita yang bagiku sangat tidak mungkin mengingat tingkat kecerdasan yang didukung kondisi ekonomi keluargaku yang waktu itu sangat carut marut. Ya, “Impian menjadi seorang diplomat”. Setidaknya dia ingin membuatku senang, ya, aku tidak mampu jadi diplomat, tapi aku masih berkesempatan menjadi istri seorang diplomat.
Kau tau rasanya ketika dia bicara padaku soal tujuan hidupnya waktu itu. Aku sampai tak mampu bicara, aku benar-benar sangat merasa tersentuh oleh pilihan hidupnya. Sedang aku saat itu, tak punya tujuan dan terkesan gamang.  Aku tidak mau salah pilih mengenai tujuan hidupku, jadi aku membiarkan semuanya mengalir begitu saja seperti air di sungai tanpa paksaan.
Itu memang sangat sulit, benar-benar sulit. Apalagi saat aku mengalami titik dimana semuanya kurasa tak berpihak padaku. aku mulai berfikir ke hal-hal mendasar, aku mulai memikirkan perbedaan kita yang begitu jauh. Ya, dia yang terlalu sempurna untukku, dia memang tak setampan Taecyeon 2PM atau Chace Crawford, dua laki-laki yang selalu ku puja ketampanannya, dia juga tak sepintar Andrew Darwis yang selalu ku puja karena berawal pemikirannya di toilet dia mampu menciptakan KASKUS. Dia juga tak sedermawan Elang Gumilang, dia juga tidak seberani Soe Hok Gie yang berani melawan ketidakadilan, diapun bukan laki-laki bad boy ibu kota yang berlindung di ketiak orang tuanya. Dia seorang laki-laki yang tak pernah memikirkan akan bagaimana hari esoknya. tapi kadang dia serius untuk hal2 tertentu. 
Namun dia mampu membuat aku nyama berada dipelukannya. Apalagi didukung dengan sambutan keluarganya padaku yang begitu hangat, ibu dan 2 kakak perempuannya, 2 kakak iparnya dan 3 keponakannya. Begitu menyayangiku. Sedang aku, jangankan dekat dengan keluargaku, mencoba mengenal keluargakupun aku larang. Karena alasan paling mendasar. Ya, Agama. Pokok hidup dan kehidupan itu agama. Segimanapun baiknya kita menjalani hidup, tanpa agama kita seperti orang yang tak punya cita-cita, kosong. Dan bagaimana bisa kita bersama, sedang kita berpegangan pada tiang yang berbeda? Aku tau, semua agama memang mengajarkan inti yang sama yaitu kebaikan walau mungkin disampaikan dengan cara dan orang yang berbeda. Namun tetap bagiku semuanya tak akan bisa dipersatukan. Sempat aku brtanya pada keluargaku “Bagaimana jika aku berpacaran denga orang berbeda keyakinan?” Mamaku langsung menangis keras, nenek, tante dan semua yang ada disana langsung menasehatiku dan amat sangat menolak keputusannku. So, segimanapun aku mencintainya aku tak akan mau jadi anak durhaka. Ya, saaat ini aku memang belum bisa lepas dari dia, namun aku sedang berusaha dengan segala keterbatasanku untuk melepaskannya.
Aku mencintai agamaku, seperti dia mencintai agamanya.  Sejak memutuskan untuk kembali bersama, aku beribu2 kali bilang agar dia tak berfikir untuk berkomitmen lebih jauh kecuali…. Ah, aku tak mau beandai-andai. Lagipula aku tak mau dia memeluk agama karena dia mencintaiku. Karena beban pertanggung jawabanku nanti akan sangat berat jika begitu. biarlah….
Dan dia setuju, meski sebenarnya sulit bagi dia, selain harus memahami aku, selain harus berpisah denganku, selain harus mematai aku menggunakan teman-temannya, meski harus kupaksa dia agar jagan sekali2 berusaha mengenal kelurgaku.
Biarlah,  biarlah semuanya mengalir seperti air. Biarlah Takdir Tuhan yang mengaturnya, untuk sementara biarlah begini adanya. Akupun tak ingin berharap banyak dari hubungan ini. Aku hanya sekedar menikmati.


BERSAMBUNG!

No comments:

Post a Comment