Pages

Friday, 9 December 2011

Only You #2


Bianca membuka matanya dengan susah payah. Bayangan yang semula samar, lama kelamaan mulai terlihat semakin jelas. Gadis itu menyapu ruangan dengan tatapan sekilas. Ada Belden yang tertidur dikursi disamping tempat tidurnya.
Hatinya mendadak panas, ia tak mampu lagi menahan air matanya. Ia menggapai lengan Belden dan menggenggamnya erat. Ada rasa yang tak mampu ia ungkapkan dengan mudah.
Menyadari ada seseorang yang menggenggam lengannya Beldenpun terbangun.ia menatap Bianca,  “Bi… Syukurlah…!” serunya amat  lega.
Kepala Bianca masih terasa sangat berat, ia menatap selang infuse ditangannya, “Ayah sama Bunda mana, Den?”
Belden diam.
Bianca berpikir sejenak, kepalanya semakin berat, namun pikirannya menerawang.
 Saat itu, tiba-tiba saja sorot lampu begitu terang berasal dari sebuah truk besar yang melaju begitu kencang menyilaukan mata. Besama cahaya itu terdengar suara klakson dan gemuruh roda truk.
“Aaaayyyyyaaaaaahhhhhh awaaaaassssss…….!” Jerit bunda dan Bianca bersamaan.
Reflex ayah membuang stir kekanan. Bianca merasakan goncangan dahsyat membolak-balikan tubuhnya, dan sekejap kemudian semuanya terasa hitam, kelam dan gelap.
Air mata Bianca menetes lagi, ia tersadar dari lamunanya, ia menatap mata sahabatnya tajam. “Ayah dan Bunda mana?”
“Bi, lu gak boleh banyak gerak dulu!”
Rasa khawatir dan takut semakin menyergapnya, “Mereka dimana?” teriak Bianca.
Mendadak ruangan menjadi sunyi sarat kesedihan. “Den, bilang sama gua, mereka dimana?”
Belden diam. ia meraba wajah Bianca menghapus air matanya, Bianca menatap Belden tajam seolah ingin mencabik-cabik wajahnya.
“Ayah dan Bunda mana, Den?” Tanya Bianca lagi.
“Me.. me… mereka… mereka meninggal Bi!” Seru Belden gugup sekaligus penuh kesedihan.
“Bohong…. Lu pasti bohong kan? Lu bohong!” Bianca menjerit. “Bilang sama gue, bilang kalau lu bohong!”
“Istighfar Bi, istighfar… mereka sudah tenang disana!”
Bianca meronta, menjerit, menangis, menuangkan kesedihannya. Belden memeluknya erat. “Tenang bi, tenang!”
Bianca melepaskan pelukan Belden ia kemudian menatap mata Belden penuh kesedihan, air matanya tak pernah berhenti menetes. “Ini bohong kan? Bilang ini bohong!”
Belden memeluk Bianca lagi, Bianca meronta, berusaha melepaskan pelukan Belden, namun Belden malah makin mempererat pelukannya, Bianca memukul-mukul dada Belden, “Ini bohong, pasti bohong!” Suara Bianca makin melemah, “Kalian pembohong, bohong! Bohong!” serunya sampai ia kembali tak sadarkan diri.
Brukkkkkkkkkkkk……
Bianca terjatuh dari ranjangnya. Badanya terasa gembur dan lemas. Pandangannya beralih pada lengannya, selang infus, mana selang infuse? Ia mengerutkan keningnya. Ia menatatap sekitar. Dan mencoba meyakinkan tatapannnya beberapa kali, ini kamarnya dan bukan rumah sakit. Pandangannya beralih kesesosok tubuh yang tertidur di ranjangnya.  Bianca bangun dan naik kembali ke ranjang.
“Den, Belden… bangun!” Bianca menggoyang-goyangkan tubuh itu.
Tak ada jawaban, Belden tak peduli, malah ia menutup telinganya dengan bantal.
Belden adalah sahabat Bianca. Semenjak orang tua Belden memilih untuk bercerai. Belden memutuskan untuk tinggal di rumah Bianca, selain Belden sahabat baik Bianca, kedua keluarga mereka sebelumnya juga bertetangga dan bersahabat baik, malah kadang ayah Bianca terlihat lebih menyayangi Belden ketimbang Bianca sendiri.
Selain karena tidak ingin diperebutkan, keputusan Belden itu didasari karena rasa cintanya pada Bianca, ia tak ingin pergi jauh dari Bianca. ia tidak ingin ikut mamanya tinggal di Surabaya, atau papanya di Bali dan berpisah jauh dari Bianca.
Orang tua Belden menyetujui keputusan putranya karena mereka tau betul siapa keluarga Bianca. ya, keluarga Belden yakin, keluarga Bianca mampu menjaga Belden dengan Baik.
Bianca menarik bantal yang menutupi telinga Belden, “Den, Belden bangunnnn!” Teriak Bianca tepat ditelinga Belden.
Belden tersentak, mengusap-ngusap telinganya, “Gak bisa ya lu gak ganggu gua?” Belden duduk malas dengan mata setengah tertutup.
“Ngapain lu di kamar gua? Terus ayah sama ibu mana?”
Belden menjitak kepala Bianca, “Lah semalem kan lu yang minta gua temenin gara-gara lampu mati!”
Bianca berfikir sejenak. Ia mengerahkan seluruh pikirannya. Ya, ya, ya,  ia ingat sekarang, semalam lampu memang mati, ia menangis dan meminta Belden menemaninya, ia tak terbiasa bahkan tak suka dengan gelap. Perasaannya selalu tidak enak kalau gelap, ia sering bersugesti sendiri dank arena itulah sering muncul ketakutan-ketakutan yang sebenarnya tidak perlu.
Hmmm….
Lalu kejadian di rumah sakit itu? Apa itu mimpi? Ahhh, tapi terasa begitu nyata “Bunda, bunda sama ayah mana?” Serunya penuh harap, ya Bianca amat sangat berharap kejadian rumah sakit itu tak nyata.
“Ya elah, jam seginimah ya masih ekhm-ekheman di kamarnya!”
“Jadi, jadi ayah sama bunda gak mati? Dan gua? Gua? gua gak dirawat!”
“Lu ngomong apa sih? lu ngigo?” Belden mengerutkan kening “Udah ah, besok gua masuk pagi, gua mau tidur!” Belden membaringkan tubuhnya tanpa mempedulikan ucapan Bianca.
Bianca menghela nafas lega, matanya berbinar penuh haru, ahh, syukurlah, itu hanya mimpi.
Tapi,
Ia masih tak yakin, untuk meyakinkan iapun turun kekamar bawah, kamar dimana  ayah dan bundanya tidur. Kebetulan kamar itu tak terkunci, pelan-pelan ia membukanya.
Perasaan haru menyelinap dalam relung dan bathinnya ketika mendapati ayah dan ibunya sedang tertidur begitu nyenyak. Ia tak kuasa menahan air matanya, ia menangis, ya, ia menangis bahagia.
Ia kembali ke kamarnya, menatap Belden yang tertidur di ranjangnya. Ia menatap jam, waktu masih menunjukkan pukul 02:05 WIB. Masih terlalu dini untuk memulai aktifitas. Terbersit sebuah ide jahil dikepalanya, iapun kemudian mendorong tubuh Belden kuat-kuat sampai sahabatnya yang memiliki fitur yang sangat jelas dan maskulin seperti garis hidung yang tajam, rahang menonjol dan tubuh atletis itu terjatuh.
Kesan pertama cewek-cewek terhadapnya adalah dia cowok cool yang digilai banyak wanita, tipe-tipe bad boy gitu.  Namun bagi Bianca dan bagi orang-orang  yang sudah mengenalnya lebih dari 4 tahun,  Belden tidak lebih dari seorang cowok usil, penuh dengan ide jahat untuk menjahilinya, jorok karena suka kentut sembarangan dan menyebalkan. Jadi jangan mudah tertipu dengan tampang ganteng, keren, gentlemen, charming dan hampir sempurna itu.
Belden berdiri, “Lu apa-apaan sih?” serunya dengan rasa kantuk luar biasa.
“Gua kan udah gak takut lagi, ngapain juga lu masih disini!?”
“Ohhhh Oke….! Hoooaaammmm!” Belden menguap “Kita selesaikan besok!” Seru Belden berlalu meninggalkan kamar Bianca dan berjalan menuju kamarnya.
Bianca tersenyum geli, ah baru kali ini ia merasakan perasaan yang benar-benar lega seperti sekarang “Terima kasih Tuhan,  kejadian rumah sakit itu hanya mimpi!” batinnya sambil menatap langit-langit kamar penuh rasa syukur dan bahagia.

<><><><*********><><><>

No comments:

Post a Comment