Pages

Monday, 19 December 2011

Only You #5


“Selamat pagi anak-anak!” Seru Pak Budi, guru B. Indonesia kelas Bianca yang terkenal ramah, baik hati dan humoris penuh semangat sambil menyimpan tasnya dimeja.
“Pagiiii Pak!” Seru koor kompak.
Prok… Pak Budi menepuk tangannya, “Oke, sebelum kita mulai pelajarannya, Bapak bawa hadiah buat kalian, terutama buatkaum hawa dikelas ini!  Hari ini bapak akan perkenalkan murid pindahan dari SMA Harapan Bangsa yang akan bergabung di kelas ini, cakepnya 11-12 lah sama bapak!”
“Huuuuuuuu……!” seru koord kompak, kelas menjadi riuh, ada yang menanggapinya dengan senyuman, tawa meledak, bahkan ejekanpun ada.
Pak Budi tersenyum, “Yang ngejek iri yaaa, mukanya gak kayak bapak yang mirip Bradd Pitt…!!!”
“Apa pak? Kejepit?!” timpal salah seorang anak yang langsung disambut gelak tawa anak loainnya.
“Bapak heran sama kalian yang selalu meragukan kegantengan bapak yang di akui dunia!” Pak Budi tersenyum penuh percaya diri, “ Ya sudah, ya sudah, Belden silahkan masuk nak!” Seru Pak Budi kental dengan logat sunda dan gayanya yang khas mempersilahkan murid barunya memasuki kelas.
“Belden?” Batin Bianca bertanya, ahhh, nama Belden kan gak cuma satu. Gak mungkin Belden sahabatnya. Bianca tetap melanjutkan pekerjaannya, menyalin PR teman sebangkunya. :D
Seseorang masuk dan berdiri didepan kelas. “Halo, nama gua Belden Juan Rahansya, lu boleh panggil gua apa aja sesuka lu, bagi gua, nama gak terlalu penting, gua harap gua bisa berteman sama kalian semua!” serunya dengan laga cuek menghanyutkan.
Belden Juan Rahansya?
Bianca yang dari tadi tidak memperhatikan, langsung menatap kedepan ketikan nama yang tak  sing ditelinganya tadi diperkenalkan.
Ini seperti mimpi, benar-benar seperti mimpi, “Belden? Bagaimana mungkin dia pindah kesini?” Batin Bianca bergejolak, antara percaya dan tidak percaya.
Ah, ia pasti salah lihat. Ya, ia pasti salah lihat. Ia mencubit pipinya, terasa sakit. so, ini nyata? ahhh, tidak-tidak, ini pasti mimpi, ini hanya ilusi.
“Aiihhh, bukannya itu cowok yang selalu anter jemput Bianca ke sekolah?”
“Ehhh, keren ya, laki banget… kelas kita beruntung!”
“Wah, pasti bakalan jadi saingan Borneo nih!”
“Ehhh, senyumnya, senyumnya manis banget!”
Berbagai komentar terlontar dari teman wanitanya dan terdengar ditelinga Bianca, namun semuanya masih terasa samar, ia masih belum mampu mencerna ucapan dan penglihatannya dengan baik. Ya, muka dan namanya memang mirip Belden, tapi ah, tidak mungkin Belden mau pindah ke sekolah ini, sudah jelas sekolahnya jauh lebih baik dan bertaraf internasional.
Sedan teman-teman laki-lakinya hanya menanggapi dengan cara biasa, malah hampir tidak peduli.
“Oke, silahkan duduk Belden, perkenalan kita tunda sampai jam istirahat, bapak harap kalian bisa membimbing dan berteman baik dengan Belden!”
Belden mengangguk. Matanya mencari-cari sosok Bianca, setelah ia temukan, iapun berjalan menghampiri meja Bianca, Belden berbisik pada Bunga, teman sebangku Bianca.
Bunga mengangguk kemudian tersenyum, iapun membawa tasnya, pindah dari bangku Bianca!
“Mau kemana, Nga?”
Bunga tersenyum, “Di kelas ini dia cuma kenal lu Bi, dia perlu bantuan lu buat beradaptasi!” serunya yang langsung berlalu mencari kursi kosong untuk tempatnya duduk.
Bianca menatap Belden dengan tatapan tajam, ia mengerutkan keningnya, mencoba merawang apa yang ada di otak laki-laki yang kini tengah duduk disebelahnya.
Belden tersenyum dengan gaya tengil.
Bianca masih belum yakin, itu Belden sahabatnya. Ia mencubit pipi Belden. “Lu? Lu bener-bener Belden? Belden sahabat gua?”
Belden mengangguk, “Kenapa? kaget?”
“Jangan bilang ini ada hubungannya sama Borneo!”
Belden balik mencubit pipi Bianca, “Lu emang selalu tau isi otak gua Bi, gua cuma gak mau tu cowok keganjenan sama lu! “
“Ya Tuhan, Lu gila Den!”
Belden tersenyum, mendekatkan bibirnya ketelinga Bianca, dari belakang terlihat seolah Belden yang seperti mencium Bianca, “Kegilaan selalu membuat seseorang tampak lebih istimewa Bi!”
Bianca geleng-geleng kepala. Ia kemudian membuka buku tulisnya dan focus menatap Pak Budi.
Belden menatap ke belakang, menatap rivalnya. Ya, Borneo. Borneo yang ternyata sejak tadi sedang menatap ke arahnya.
Keduanya sama-sama saling menatap tajam, penuh emosi, penuh kemarahan dan sarat persaingan.
Tatapan keduanya seolah mengisyaratkan bahwa perang terbuka telah dimulai.
Suasananya sedikit panas.  Ya, kepanasan yang hanya di ketahui oleh Belden, Borneo dan Tuhan.


<><><><*********><><><>

No comments:

Post a Comment