“Selamat
pagi anak-anak!” Seru Pak Budi, guru B. Indonesia kelas Bianca yang terkenal
ramah, baik hati dan humoris penuh semangat sambil menyimpan tasnya dimeja.
“Pagiiii
Pak!” Seru koor kompak.
Prok…
Pak Budi menepuk tangannya, “Oke, sebelum kita mulai pelajarannya, Bapak bawa
hadiah buat kalian, terutama buatkaum hawa dikelas ini! Hari ini bapak akan perkenalkan murid
pindahan dari SMA Harapan Bangsa yang akan bergabung di kelas ini, cakepnya
11-12 lah sama bapak!”
“Huuuuuuuu……!”
seru koord kompak, kelas menjadi riuh, ada yang menanggapinya dengan senyuman,
tawa meledak, bahkan ejekanpun ada.
Pak
Budi tersenyum, “Yang ngejek iri yaaa, mukanya gak kayak bapak yang mirip Bradd
Pitt…!!!”
“Apa
pak? Kejepit?!” timpal salah seorang anak yang langsung disambut gelak tawa
anak loainnya.
“Bapak
heran sama kalian yang selalu meragukan kegantengan bapak yang di akui dunia!”
Pak Budi tersenyum penuh percaya diri, “ Ya sudah, ya sudah, Belden silahkan
masuk nak!” Seru Pak Budi kental dengan logat sunda dan gayanya yang khas
mempersilahkan murid barunya memasuki kelas.
“Belden?”
Batin Bianca bertanya, ahhh, nama Belden
kan gak cuma satu. Gak mungkin Belden sahabatnya. Bianca tetap melanjutkan
pekerjaannya, menyalin PR teman sebangkunya. :D
Seseorang
masuk dan berdiri didepan kelas. “Halo, nama gua Belden Juan Rahansya, lu boleh
panggil gua apa aja sesuka lu, bagi gua, nama gak terlalu penting, gua harap
gua bisa berteman sama kalian semua!” serunya dengan laga cuek menghanyutkan.
Belden Juan
Rahansya?
Bianca
yang dari tadi tidak memperhatikan, langsung menatap kedepan ketikan nama yang
tak sing ditelinganya tadi
diperkenalkan.
Ini
seperti mimpi, benar-benar seperti mimpi, “Belden? Bagaimana mungkin dia pindah
kesini?” Batin Bianca bergejolak, antara percaya dan tidak percaya.
Ah, ia pasti salah
lihat. Ya, ia pasti salah lihat. Ia mencubit pipinya, terasa sakit. so, ini nyata? ahhh, tidak-tidak, ini pasti
mimpi, ini hanya ilusi.
“Aiihhh,
bukannya itu cowok yang selalu anter jemput Bianca ke sekolah?”
“Ehhh,
keren ya, laki banget… kelas kita beruntung!”
“Wah,
pasti bakalan jadi saingan Borneo nih!”
“Ehhh,
senyumnya, senyumnya manis banget!”
Berbagai
komentar terlontar dari teman wanitanya dan terdengar ditelinga Bianca, namun
semuanya masih terasa samar, ia masih belum mampu mencerna ucapan dan
penglihatannya dengan baik. Ya, muka dan namanya memang mirip Belden, tapi ah,
tidak mungkin Belden mau pindah ke sekolah ini, sudah jelas sekolahnya jauh
lebih baik dan bertaraf internasional.
Sedan
teman-teman laki-lakinya hanya menanggapi dengan cara biasa, malah hampir tidak
peduli.
“Oke,
silahkan duduk Belden, perkenalan kita tunda sampai jam istirahat, bapak harap
kalian bisa membimbing dan berteman baik dengan Belden!”
Belden
mengangguk. Matanya mencari-cari sosok Bianca, setelah ia temukan, iapun
berjalan menghampiri meja Bianca, Belden berbisik pada Bunga, teman sebangku
Bianca.
Bunga
mengangguk kemudian tersenyum, iapun membawa tasnya, pindah dari bangku Bianca!
“Mau
kemana, Nga?”
Bunga
tersenyum, “Di kelas ini dia cuma kenal lu Bi, dia perlu bantuan lu buat
beradaptasi!” serunya yang langsung berlalu mencari kursi kosong untuk
tempatnya duduk.
Bianca
menatap Belden dengan tatapan tajam, ia mengerutkan keningnya, mencoba merawang
apa yang ada di otak laki-laki yang kini tengah duduk disebelahnya.
Belden
tersenyum dengan gaya tengil.
Bianca
masih belum yakin, itu Belden sahabatnya. Ia mencubit pipi Belden. “Lu? Lu bener-bener
Belden? Belden sahabat gua?”
Belden
mengangguk, “Kenapa? kaget?”
“Jangan
bilang ini ada hubungannya sama Borneo!”
Belden
balik mencubit pipi Bianca, “Lu emang selalu tau isi otak gua Bi, gua cuma gak
mau tu cowok keganjenan sama lu! “
“Ya
Tuhan, Lu gila Den!”
Belden
tersenyum, mendekatkan bibirnya ketelinga Bianca, dari belakang terlihat seolah
Belden yang seperti mencium Bianca, “Kegilaan selalu membuat seseorang tampak
lebih istimewa Bi!”
Bianca
geleng-geleng kepala. Ia kemudian membuka buku tulisnya dan focus menatap Pak
Budi.
Belden
menatap ke belakang, menatap rivalnya. Ya, Borneo. Borneo yang ternyata sejak
tadi sedang menatap ke arahnya.
Keduanya
sama-sama saling menatap tajam, penuh emosi, penuh kemarahan dan sarat
persaingan.
Tatapan
keduanya seolah mengisyaratkan bahwa perang terbuka telah dimulai.
Suasananya
sedikit panas. Ya, kepanasan yang hanya
di ketahui oleh Belden, Borneo dan Tuhan.
<><><><*********><><><>
No comments:
Post a Comment