Pages

Friday 30 March 2012

"The Raid" : Kekerasan Yang Vulgar namun Eksotis

Menurut Arie Sugantoro sang produser, awalnya “The Raid” akan diedarkan di Indonesia dengan judul “Serbuan Maut”. Namun dengan berbagai pertimbangan, akhirnya mereka memutuskan menggunakan judul yang sama dengan versi internasional yang kemudian di Amerika ditambahkan namanya jadi“The Raid: Redemption”.

“The Raid” memang punya plot yang super sederhana, tapi memiliki makna dan isi yang luar biasa ( coba nonton gak Cuma sekali, ato yang versi amerika ). Ya, dari awal kita memang sudah bisa menebak bagaimana ending ceritanya. Tapi, sungguh adegan demi adegan di film ini tuh “Indah”. Gua dibuat terpana, terlena, takut, kaget, cemas, lucu, gregetan, dll. “The Raid”mengocok, mengaduk, mencampur baurkan perasaan begitu saja tanpa rekayasa.
Gua sebenernya gak terlalu suka sama film yang berbau kekerasan, perkelahian dan semacamnya, but “The Raid” pengecualian. Karena darah yang muncrat dan baku hantamnya terlihat sangat eksotis dalam pandangan. Adegan silat yang gua tau terkesan rumit dan sulit, dibuat menjadi tontonan yang siapapun melihatnya pasti terpesona.
Om Gareth menyajikan sesuatu yang berbeda, tidak hanya untuk film ini, tapi juga untuk perfilman Indonesia bahkan dunia. Kekerasan di tampilkan secara vulgar, dan ke-vulgar-an itulah yang membuat gua dan bahkan hampir 98% penonton berdecak kagum dan tak segan bertepuk tangan untuknya.
Menonton “The Raid” seperti bermain sebuah game peperangan, saat level satu berhasil diselesaikan, kita tak tahu apa yang akan terjadi di level 2, tapi sepertinya kita tahu bahwa rintangan di depan lebih berat dan lebih menegangkan. Sajian demi sajian, adegan demi adegan, benar-benar tampak berbeda dan menegangkan. Tidak Cuma buat gua, tapi juga buat orang-orang dibawah ini :

*        Larnel Stovall ( Koreografer Mortal Kombat ) bilang , menonton “The Raid”, mendengar penonton bersorak dan merasa ngeri pada kebrutalan beberapa perkelahian adalah pengalaman yang hebat”

*        Scott Adkins pemain “Undisputed II : Las Man Standing” dan “Undisputed III : Redemption” berujar bahwa : film “The Raid” adalah film action terbaik yang pernah dia lihat setelah “The Matrix”, film ini benar-benar hidup”

*        Peter Sciretta dari Slash memuji “The Raid” sebagai film aksi terrbaik yang pernah ia lihat dalam beberapa tahun.

*        Pendapat senada mengemuka juga oleh Alex Billington (First Showing). Dia bilang, "Ini benar-benar adalah salah satu film action terbaik yang pernah kulihat dalam beberapa tahun."

*        Brad Miska (Bloddy Disgusting) juga memuji “The Raid”. “Ini adalah film action terbaik yang pernah dirakit, energy tertinggi yang pernah ada di film layar lebar” katanya.

*        “Ini dia 9 dari 10 bintang!” puji Tim Hannigan (Horror Movies) untuk film ini.

*        The Hollywood Reporter menilainya, "tidak mendapatkan film laga dengan kekerasan ultra yang jauh lebih menarik dari film Indonesia ini!”

*        Kritikus film Andrew Parker menyatakan, "The Raid mencapai kesempurnaan film laga!” dia bahkan memberikan 5 bintang dari 5 bintangnya.

*        Anton Sirius (Aint It Cool) menyatakan, "The Raid menampilkan dasar yang mungkin anda inginkan ketika anda pergi menonton film aksi”

*        James Rochi (MSN Movies) menyatakan, The Raid menyamai Die Hard.

*        Bahkan, Drew McWeeny (Hit Fix) tanpa ragu memujinya sebagai film laga yang nyaris sempurna.

*        Situs aggregator kritik film Rotten Tomatoes memberi sertifikat “segar” dengan skor 88%, 4 dari 5 bintang. Dia bilang: “The best movie I saw this weekend was: The Raid: Redemption. The Hunger Games was good. #TheRaid was MAGNIFICENT”.

*        Stephen Whitty (Newark Star-Ledger) bilang bahwa seluruh hal di film ini begitu jelas.

*        Liam Lacey  (Globe and Mail ) menyatakan bahwa “The Raid: Redemtion” terasa seperti film action yang disuling untuk esensi ( hakikatnya) setelah terlalu banyak tontonan Hollywood. 

*        Lou Lumenick (New York Post ) juga memuji dengan menyatakan aksi ini brutal, berdarah-darah dan hampir  membuat andrenaline terpicu tanpa henti.

*        David Lewis (San Francisco Chronicle ) bilang “film ini membuat sesak, sangat keras dan menyenangkan”

*        Scott Bowles ( USA Today ) memuji juga dengan menyatakan “The Raid” adalah film tahun ini yang paling turbo-charged film. Seni bela diri orang Indonesia yang mengangkat kekerasan namun memberikan karakter modern pada pandangan dunia

*        Mark Jenkins ( NPR ) menyatakan bahwa “Film ini energy yang menggelegar, bukan hanya kumpulan momen berdarah!”

*        Joe Neumaier (New York Daily News ) bilang menonton film Ini melelahkan ( terpicu terus ) tapi menyenangkan.

*        Michael Phillips (Chicago Tribune ) I love that a film this gory secured the same Motion Picture Association of America rating as "The King's Speech."

*        Peter Howell ( Toronto Star ) ini gelombang adrenalin yang menghubungkan protagonist dan cerita yang kuat untuk mengembangkan seni bela diri tradisional Indonesia (silat). Ini bisnis yang baik.

*        Ernest Hardy  (Village Voice ) bergerak cepat, penuh dengan game-changing sekuens laga yang memiliki kualitas ( kebrutalan yang indah). Gareth Evans membuat seni bela diri ( silat ) dalam “The Raid” ini hidup dan membuat orang bersemangat menyebarkan virus ( Silat) itu.

*        Robert Koehler ( Variety ) said  “It's easy to forget the story altogether in the sheer rush of Rama's fight to the top floor; instead, viewers will wonder how the amazing battle that just ended could possibly be topped. But it is, again and again”.
Gimana? Setelah baca komen-komen diatas? Masih ngerasa “The Raid” biasa aja? Gak mutu? Film ini juga sebenarnya hanya rencana cadangan saat pertama kali Om Gareth memutuskan untuk membuat film kedua ( Brandal ) setelah “Merantau”. Ia sebenarnya ingin membuat film yang bujetnya lebih besar dari “Merantau” dan film yang benar-benar berbeda. Namun karena krisis financial yang mendera perfilman Indonesia kala itu, dia memikirkan bagaimana mencari uang dalam waktu 1 ½ tahun. Tapi ternyata tak bisa, pikirannya mentok, mengumpulan uang dalam jumlah yang sangat besar tidak semudah mengumpulkan pengangguran. Tapi, ia tak mau membuat film dengan bujet terbatas dan setengah-setengah karena takut akan kehilangan ruang lingkup dan ukuran yang mereka inginkan dari film itu sesungguhnya, dia tak mau mengorbankan kualitas film itu sendiri. Akhirnya dibuatlah rencana kedua yaitu “The Raid” yang lokasinya hanya dalam sebuah bangunan demi menghemat  biaya produksi. Selain itu Om Gareth juga merasa harus mempromosikan seni bela diri silat di kancah Internasional lewat film-filmnya. Dan sepertinya niat itu tercapai, karena respon dari masyarakat Internasional juga luar biasa. Hebat yah, rencana kedua saja bisa sekeren ini, apalagi “Berandal”? ah, tak sabar rasanya menanti “Berandal”.

No comments:

Post a Comment