Chio
menatap seorang gadis dihadapannya penuh perasaan. Ia kemudian membelai lembut
rambut gadis itu, “Kalau kamu tidak bisa menerimaku, tetaplah disampingku dan
ajari aku bagaimana cara melupakanmu!” serunya kemudian mengecup bibir gadis
itu.
“Cut!!!!”
seru pak Sutradara bangga.
Semua
yang sempat terhanyut dalam suasanapun bertepuk tangan dan bersorak bahagia.
Karena itu berarti shooting berjalan lancar dan memuaskan.
Chio
langsung dikerubuti fans fanatiknya, dari yang sekedar minta tandatangan,
sampai yang memberinya perhatian lebih seperti memijatnya, mengelap keringatnya
memberinya minuman dan lain-lain. Dan Chio sama sekali tak keberatan dengan
perlakuan mereka semua, ia terlihat senang dan menikmati.
Cowok
blasteran Indo-China itu memang tak seperti kebanyakan artis, ia tak pernah
menampakkan ekspresi wajah lelah, frustasi atau semacamnya didepan fansnya.
Makanya, tak heran jika semakin hari fansnya semakin bertambah, buhan hanya
dari kalangan anak-anak dan remaja. Ibu-ibu bahkan nenek-nenek juga banyak yang
menganguminya.
Dan
Criska, sang manager hanya menghela nafas melihatnya. Andai mereka tau Chio
yang sebenarnyyyaaa… huuuffhhhh!
<><><><*********><><><>
Criska menjatuhkan tubuhnya ke
kursi dengan frustasi.
“Pasti Chio lagi!” Tebak Catra,
Chiko dan Chepi hampir bersamaan. Mereka adalah sahabat Criska sekaligus teman
hidup Criska. Mereka bersahabat sejak kecil. Semenjak lulus SMA mereka
memutuskan untuk tinggal bersama. Ya, mereka lahir dari produk gagal, keluarga
tak utuh dan tak bahagia. Saat bersama mereka merasa senasib sepenanggungan dan
merasa saling melengkapi satu sama lain.
Gadis manis bertubuh semampai,
berambut sebahu hanya menjawab dengan helaan nafas putus asa.
Menjadi manager artis yang sedang
diatas langit seperti Chio Agustaf tidak segampang dan semudah kelihatannya.
Chio membuatnya lelah, tidak hanya lahirnya tapi bathinnya juga.
Ah, andai saja ia tak butuh
makan, andai saja ia tak butuh uang dan andai saja mencari pekerjaan semudah
mencari pengangguran, hmm, ia pasti sudah berhenti sejak dulu.
Chepy cowok yang rambut sama
jidatnya sama-sama mengkilap yang kata emaknya paling ganteng sedunia,
menepuk-nepuk bahu Criska, mencoba memberinya semangat, “Sabar ya, Chis!”.
“Menurut gua, ini bukan soal
sabar ato nggak sabar boy, gua rasa tu anak makin didiemin makin ngelunjak deh!”
Timpal Chiko , sosok metropolis, ganteng
dan punya duit banyak, otaknya juga gak kosong-kosong amat, tipe-tipe cowok
badboy gitu. Pokoknya senyum dia, tingkah lakunya, gayanya, sangat menyihir.
Tapi sayang dia lebih suka tante-tante ketimbang wanita seusianya. Hmm, mungkin
karena ia tak mengenal sosok ibu kali yaaa, soalnya ibunya meninggal ketika ia
berumur 9 tahun dan ia dibesarkan oleh seorang ayah yang tak peduli padanya,
bagi ayahnya uang sudah cukup membeli kebahagiaan dirinya.
“Cat, komentar lu?” Tanya Chepi
pada Catra, dari kecil Catra memang tak mengenal siapa orang tuanya, tapi ia
yang paling dewasa diantara semuanya, ia sosok yang selalu tersenyum ramah,
berfikiran luas dan leader banget.
Criska, Chiko dan Chepi yakin
dibalik penampilan luarnya yang tenang dan seolah hidup itu selalu indah
baginya, Catra juga memiliki beban bathin yang sama. Ya, setiap manusia pasti
punya masalah sendiri-sendiri, punya beban batin sendiri-sendiri, punya
kesakitan sendiri-sendiri. Bohong banget kalo ada orang yang bilang dari lahir
sampe dia gede gak punya masalah. Cuma kadang-kadang kebanyakan orang lebih
memilih hidup kayak Catra, menyimpan kesakitannya direlung hati terdalamnya.
Gak jarang baik Criska, Chiko dan Chepi melihat Catra merenung sendiri, tapi
saat ditanya ada masalah apa, Catra hanya menanggapinya dengan senyum. Terkesan
munafik memang, tapi bukankah manusia punya cara sendiri-sendiri buat bertahan
dan menjalani hidupnya. Cara hidup orang? Ya terserah dianya. Toh benar dan
salah itu relative kok, tergantung dari sisi mana kita ngeliatnya. Gak semua
orang bilang hal bener itu selalu bener, gak semua orang juga nganggep hal yang
salah itu salah.
“Kayaknya ada yang lebih penting dari masalah
ini deh!” Catra memandang keluar jendela, ketiga sahabatnya mengikuti arah
tatapan Catra.
Dalam beberapa tahun terakhir ini
hobi menyendiri bunda sudah semakin parah. Bunda adalah pemilik rumah tempat
tinggal mereka sekarang. Bundalah yang menjaga, merawat dan memberikan kasih sayang selayaknya orang
tua kandung mereka. Dengan hadirnya Bunda, mereka merasa mendapatkan apa yang
mereka tidak dapatkan. Dan dengan adanya mereka, bundapun merasa tak sendiri lagi. Apalagi kisah mereka
tak jauh berbeda, rumah tangga Bunda tak berjalan dengan baik, ya, suaminya
pergi demi wanita cantik yang lebih muda.
Dan sejak saat itu bunda lebih
sering menyendiri, mungkin pepatah yang mengatakan “Air Mata Perempuan Adalah
Hal Yang Sangat Berharga!” tak berlaku lagi buat bunda, hampir setiap hari, ia
duduk di taman belakang, mengabaikan semua hal yang ada disekelilingnya,
terdiam, termenung, dan menangis. Sekalipun Catra, Criska, Chiko dan Chepi
berusaha menyuguhkan makanan kesukaannya, namun itu tak berguna.
Mereka saling memandang, kemudian
saling melempar senyum lalu berlari menghampiri bunda lalu memeluknya erat. Mereka seolah saling bicara
dalam bahasa isyarat, berusaha menghibur Bunda Citra, bunda yang amat mereka
sayangi.
Hal sederhana seperti itu mungkin
tak mampu menghapus air mata dan kesedihan mami. Namun Bunda tersenyum melihat
dan merasakan ketulusan mereka. Ketika tersenyum, wanita berjilbab itu terlihat
begitu cantik, mukanya terlihat bercahaya, kriput sama sekali tak menyusutkan
kecantikan diwajahnya.
Ah, betapa bodohnya lelaki yang
telah mengecewakan wanita setengah baya itu begitu saja.
<><><><*********><><><>
No comments:
Post a Comment