Pages

Saturday, 18 February 2012

Only You #35


Bagus sedang kebagian tugas siskamling. Di rumah hanya ada Bianca dan Belden. Mereka saling berpandangan ketika saling mendengar perut mereka yang berbunyi satu sama lain. Ya, mereka merasa lapar, sedang tak ada bahan mentah yang bisa dijadikan makanan di rumahnya.
Mereka saling tersenyum satu sama lain. Kemudian menghela nafas kompak, di Jakarta ini tak mungkin terjadi karena Bunda selalu memperhatikan mereka dan selalu ada banyak makanan disana. Kalaupun tidak ada makanan, pesan makanan delivery pun jadi, atau pergi ke mini market terdekat. Semuanya mudah kalau di Jakarta. Sedang disini, meskipun gak kampong-kampung banget, tapi sehabis isya keadaan di desa Cilowa ( Kuningan- Jawa Barat) sudah begitu sepi dan senyap, mungkin karena lelah setelah seharian bekerja keras sepertinya, ya mayoritas penduduk disini bekerja sebagai petani juga buruh bangunan. Dan kita tahu betapa beratnya pekerjaan itu, sedang hasil yang didapat kadang tak sesuai dengan kerja keras mereka. Ah, hidup memang keras ya.
“Hmmm, gimana kalo lu cari makanan, Den!”
Belden melotot, “Dan ngebiarin lu sendiri? Gua lebih baik mati kelaparan deh!”
“Gua bukan anak kecil Den! Bahkan usia guapun lebih tua dari lu!”
“Gimana kalo kita nyari sama-sama?”
“Sumpah kaki gua tuh lagi sakit, gua lagi males kemana-mana. Gini deh, gua janji gua gak akan kenapa-napa!”
Belden berfikir sejenak, “Hmmmm, tapi…!!!”
“Tapi apa? gak usah kebanyakan berpikir deh, kalo kayak gini terus kita pasti gak akan bisa tidur!” Seru Bianca memotong pembicaraan Belden.
“hmmm, Baiklah, tapi kalo ada apa-apa lu langsung telpon gua ato teriak biar tetangga pada denger ya!” Serunya ragu.
“Lebay deh!”
Dengan berat hati Beldenpun berlalu meninggalkan Bianca. disatu sisi dia tidak ingin membiarkan Bianca sendiri, tapi disisi lain, dia juga tak bisa membiarkan Bianca merasa kelaparan. Belden memegang perutnya, ia juga sama laparnya dengan Bianca, ia berjanji akan segera kembali, ia takut terjadi sesuatu pada Bianca.
Dan, benar saja, ketakutannya benar-benar terjadi. Belden liat lampu disekitarnya mati. Ia sangat tahu kelemahan Bianca dan tanpa berfikir panjang, iapun memutar mobilnya kembali. Ia mencoba menghubungi Bianca, tapi tak diangkat. Itu mungkin karena Bianca merasa sangat ketakutan. Iapun semakin cemas.
Ketika sampai dirumah ia langsung mencari-cari sosok Bianca, sambil terus memaggil nama Bianca.
Belden menghela nafas lega ketika mendapati Bianca yang ternyata baik-baik saja. Belden langsung memeluk Bianca, “Lu nggak apa-apa Bi?”
Bianca mengerutkan kening, “Dalam keadaan gini lu masih tanya gua gak apa-apa? Gua sakit, gua kelaperan!”
“Lu gak takut gelap?”
“Gelap?” Bianca memegang kening Belden, “Lu sakit ya?”
Dan, Belden baru menyadari Bahwa lampu di rumah bersinar terang, tidak mati. “Loh, kok terang? Nggak mati lampu?”
“Mati lampu? Ngarang! Mana makanannya?”
“Ya Tuhan!” Belden menepuk keningnya, “Tadi ditengah jalan gua liat lampu mati mendadak, tanpa pikir panjang gua balik kesini, gua takut lu kenapa-napa, HP lu gak diangkat!”
“HP gua dikamar gak kedengeran, so, kita akan kelaparan semalaman gitu?”
Belden mengangguk ragu, “Maybe!”
“Yaaaahhh!” Bianca kecewa, ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi.
“Kita nyari makan bedua yuk, biar nanti gua gendong lu kalo lu gak sanggup jalan!”
“Terus kalo aa pulang gimana? Lagipula gua gak yakin lu bisa gendong gua, tangan lu kan sakit!”
Yap, semenjak jatuh dari sepeda ketika kecil tangan Belden memang tak bisa bekerja secara maksimal seperti kebanyakan orang. Tangannya kadang kaku dan keram mendadak.
“Eits, jangan remehin gua! kalo aa siy gampang, nanti kita mampir dulu ke pos ronda sebelum berangkat.
“Ya udah, Ayo!” Bianca memutar tubuh Belden kemudian naik ke gendongannya dengen penuh semangat.
Belden menanggapinya dengan semangat pula.



<><><><*********><><><>


No comments:

Post a Comment