Bagus sedang kebagian tugas
siskamling. Di rumah hanya ada Bianca dan Belden. Mereka saling berpandangan
ketika saling mendengar perut mereka yang berbunyi satu sama lain. Ya, mereka
merasa lapar, sedang tak ada bahan mentah yang bisa dijadikan makanan di
rumahnya.
Mereka saling tersenyum satu
sama lain. Kemudian menghela nafas kompak, di Jakarta ini tak mungkin terjadi
karena Bunda selalu memperhatikan mereka dan selalu ada banyak makanan disana.
Kalaupun tidak ada makanan, pesan makanan delivery pun jadi, atau pergi ke mini
market terdekat. Semuanya mudah kalau di Jakarta. Sedang disini, meskipun gak
kampong-kampung banget, tapi sehabis isya keadaan di desa Cilowa ( Kuningan-
Jawa Barat) sudah begitu sepi dan senyap, mungkin karena lelah setelah seharian
bekerja keras sepertinya, ya mayoritas penduduk disini bekerja sebagai petani
juga buruh bangunan. Dan kita tahu betapa beratnya pekerjaan itu, sedang hasil
yang didapat kadang tak sesuai dengan kerja keras mereka. Ah, hidup memang
keras ya.
“Hmmm, gimana kalo lu cari
makanan, Den!”
Belden melotot, “Dan ngebiarin
lu sendiri? Gua lebih baik mati kelaparan deh!”
“Gua bukan anak kecil Den!
Bahkan usia guapun lebih tua dari lu!”
“Gimana kalo kita nyari
sama-sama?”
“Sumpah kaki gua tuh lagi
sakit, gua lagi males kemana-mana. Gini deh, gua janji gua gak akan
kenapa-napa!”
Belden berfikir sejenak,
“Hmmmm, tapi…!!!”
“Tapi apa? gak usah kebanyakan
berpikir deh, kalo kayak gini terus kita pasti gak akan bisa tidur!” Seru
Bianca memotong pembicaraan Belden.
“hmmm, Baiklah, tapi kalo ada
apa-apa lu langsung telpon gua ato teriak biar tetangga pada denger ya!”
Serunya ragu.
“Lebay deh!”
Dengan berat hati Beldenpun
berlalu meninggalkan Bianca. disatu sisi dia tidak ingin membiarkan Bianca
sendiri, tapi disisi lain, dia juga tak bisa membiarkan Bianca merasa
kelaparan. Belden memegang perutnya, ia juga sama laparnya dengan Bianca, ia
berjanji akan segera kembali, ia takut terjadi sesuatu pada Bianca.
Dan, benar saja, ketakutannya
benar-benar terjadi. Belden liat lampu disekitarnya mati. Ia sangat tahu
kelemahan Bianca dan tanpa berfikir panjang, iapun memutar mobilnya kembali. Ia
mencoba menghubungi Bianca, tapi tak diangkat. Itu mungkin karena Bianca merasa
sangat ketakutan. Iapun semakin cemas.
Ketika sampai dirumah ia
langsung mencari-cari sosok Bianca, sambil terus memaggil nama Bianca.
Belden menghela nafas lega
ketika mendapati Bianca yang ternyata baik-baik saja. Belden langsung memeluk
Bianca, “Lu nggak apa-apa Bi?”
Bianca mengerutkan kening,
“Dalam keadaan gini lu masih tanya gua gak apa-apa? Gua sakit, gua kelaperan!”
“Lu gak takut gelap?”
“Gelap?” Bianca memegang
kening Belden, “Lu sakit ya?”
Dan, Belden baru menyadari
Bahwa lampu di rumah bersinar terang, tidak mati. “Loh, kok terang? Nggak mati
lampu?”
“Mati lampu? Ngarang! Mana
makanannya?”
“Ya Tuhan!” Belden menepuk
keningnya, “Tadi ditengah jalan gua liat lampu mati mendadak, tanpa pikir
panjang gua balik kesini, gua takut lu kenapa-napa, HP lu gak diangkat!”
“HP gua dikamar gak
kedengeran, so, kita akan kelaparan semalaman gitu?”
Belden mengangguk ragu,
“Maybe!”
“Yaaaahhh!” Bianca kecewa, ia
menjatuhkan tubuhnya ke kursi.
“Kita nyari makan bedua yuk,
biar nanti gua gendong lu kalo lu gak sanggup jalan!”
“Terus kalo aa pulang gimana?
Lagipula gua gak yakin lu bisa gendong gua, tangan lu kan sakit!”
Yap, semenjak jatuh dari sepeda
ketika kecil tangan Belden memang tak bisa bekerja secara maksimal seperti
kebanyakan orang. Tangannya kadang kaku dan keram mendadak.
“Eits, jangan remehin gua!
kalo aa siy gampang, nanti kita mampir dulu ke pos ronda sebelum berangkat.
“Ya udah, Ayo!” Bianca memutar
tubuh Belden kemudian naik ke gendongannya dengen penuh semangat.
Belden menanggapinya dengan
semangat pula.
<><><><*********><><><>
No comments:
Post a Comment