Bianca sangat menyayangi
kakaknya, ia ingin selalu disamping kakaknya. Tapi akh, ia harus kembali menjalani
rutinitas dan aktifitasnya. Ia tak mungkin berada terus disini, ia juga punya
kehidupan yang tidak bisa ia tinggalkan. Ia harus kembali ke Jakarta. Tentu ini
bukan sebuah paksaan tapi sebuah kewajiban.
Dalam hidup, ada saat
bersaamaan ketika ia mengambil sesuatu, ia harus rela melepas sesuatu yang
sama-sama penting dalam hidupnya. Meskipun rasanya meninggalkan kakaknya itu
berat, namun ia merasa ia tak bisa lepas tanggung jawab begitu saja sebagai
seorang anak. Jadi ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta, bukan, ini sama
sekali bukan karena ia merasa hidup di Jakarta lebih enak, bukan pula karena ia
ingin balas jasa pada kedua orang tua angkatnya, tapi ia lebih merasa bahwa di
Jakartalah kehidupannya yang sebenarnya.
Bianca yakin aa sudah dewasa
dan mampu menjaga dirinya dengan baik dan berjanji akan menengo aa sesering
mungkin. Sang kakak tersenyum dan meminta Bianca tak perlu mengkhawatirkannya,
karena kalau seperti itu, aa jadi ragu, siapa yang sebenarnya kakak.
Semuanya tersenyum.
<><><><*********><><><>
Kepala Bianca, Belden dan
beberapa penumpang lain terbentur ke jok depan ketika supir travel mereka
mengerem mendadak.
Mereka senatap sang sopir
dengan pandangan, “Ada apa?”.
“Maaf mas-mas… mba-mba… mobil
ini sekarat lagi, sepertinya kita tidak bisa melanjutkan perjalanan. Mobil
dikantor juga sedang dipakai semua, jadi tidak ada yang bisa menggantikan mobil
ini!”
Penumpang mengomel, Bianca
menatap Belden dengan tatapan “Apa yang mesti kita lakukan?”
Belden menganggkat bahu.
“Hmmm, tidak jauh dari sini,
ada terminal bis, tinggal lurus saja. Tapi saya akan lebih senang jika anda
menunggu saya!” Seru pak sopir tertawa, penumpang makin geram karena saat-saat
menjenuhan seperti ini Pak Supirnya masih sempat tertawa.
Tapi Belden dan Bianca beda,
ia ikut tertawa juga dan ditanggapi dengan tatapan sinis para penumpang lain.
Sebelum suasana makin panas
terjadi Bianca dan Belden lebih memilih meninggalkan travel yang mereka
tumpangi dan berjalan menuju terminal yang katanya tidak jauh dari tempatnya
sekarang, tapi ah entahlah, batang hidung terminal itupun sama sekali belum
kelihatan, sedang Bianca sekarang saja sudah terlihat kelelahan.
“Bisa kurus nih badan gua kalo
tiap hari kayak gini!”
Belden tersenyum.
“Hmmm, pak supir tadi bohong
deh kayaknya, katanya terminal gak jauh dari sini, tapi mana coba?”
“Jangan ngeluh terus, nanti
energynya makin terkuras, tambah capek deh!”
Bianca berhenti, dia kemudian
duduk di pinggir jalan, menyelonjorkan kakinya.
Melihat Bianca berhenti,
Belden yang sudah berjalan duluan pun mundur kembali menghampiri Bianca, “Mau
gua gendong lagi?” tawarnya.
“Bianca tersenyum, tapi
buru-buru ia menghapus senyumnya, “Nanti kalo tangan Lu sakit gimana? Hmm, tapi
rejeki gak boleh di tolak kan?”Bianca naik kepunggung Belden, “Kalo tangan lu sakit
bukan tanggung jawab gua ya!”.
Belden mengangguk mantap.
Diperjalanan, bianca seperti
biasanya, jadi gadis yang penuh semangat dan cerewet, sedang Belden hanya
menanggapinya dengan senyuman dan sesekali mengangguk. Bianca jengkel dan
merasa tak dianggap karena Belden tidak seperti biasanya. Belden juga kan
sebenarnya sama seperti dirinya, tak bisa diam dan berisik. Biancapun
memutuskan berhenti bicara.
“Kok diem!”
“Abis nggak direspon!”
“Bukan nggak ngerespon, gua
Cuma nggak mau kehilangan momen ini, akhir-akhir ini kan kita jarang banget
barengan kayak gini, gua dengerin lu kok, tapi gua gak maul u berenti bicara,
karena gua suka denger dan liat lu bayak bicara!”
Pipi Bianca memerah, kata-kata
Belden barusan membuatnya malu sekaligus salting.
Ya, Belden ingin benar-benar
menikmati hari bersama Bianca ini.
Ia ingin mengingat saat ini.
Karena ia sangat menyadari ada waktunya ia tak bisa bersama seperti ini lagi
dengan Bianca.
Ia ingin mengingat saat ini,
saat-saat ia dan Bianca sangat menikmati persahabatan mereka tanpa ada gangguan
satu pihakpun.
Ia ingin menginggat saat ini,
karena saat ini membantunya untuk hidup lebih baik.
Ia ingin mengingat saat ini,
saat dimana ia mensyukuri apapun yang terjadi padanya dan Bianca.
Mencintai orang yang tak bisa
ia miliki membuat ia menderita dan terluka. Tidak, tidak hanya itu, mencintai
orang yang tak bisa dimiliki juga membuat orang-orang disekitarnya terluka.
Ia merasa tak bisa melupakan
Bianca, ia merasa hidup ditepi jurang setiap hari, ia merasa selalu sedih dan
serba salah. Ia merasa ada waktu dimana apapun yang dikatakan orang yang
berusaha menghiburnya sama sekali tak membantu. Tapi, ketika ia mendapati
Bianca disisinya dan tersenyum untuknya, ia merasakan semua ini begitu indah.
Bianca satu-satunya orang yang
Belden syukuri keberadaannya. Karena dengan Bianca, biarpun ia terluka, ia
merasa sangat bahagia.
<><><><*********><><><>
No comments:
Post a Comment