Pages

Saturday, 18 February 2012

Only You #36


Bianca sangat menyayangi kakaknya, ia ingin selalu disamping kakaknya. Tapi akh, ia harus kembali menjalani rutinitas dan aktifitasnya. Ia tak mungkin berada terus disini, ia juga punya kehidupan yang tidak bisa ia tinggalkan. Ia harus kembali ke Jakarta. Tentu ini bukan sebuah paksaan tapi sebuah kewajiban.
Dalam hidup, ada saat bersaamaan ketika ia mengambil sesuatu, ia harus rela melepas sesuatu yang sama-sama penting dalam hidupnya. Meskipun rasanya meninggalkan kakaknya itu berat, namun ia merasa ia tak bisa lepas tanggung jawab begitu saja sebagai seorang anak. Jadi ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta, bukan, ini sama sekali bukan karena ia merasa hidup di Jakarta lebih enak, bukan pula karena ia ingin balas jasa pada kedua orang tua angkatnya, tapi ia lebih merasa bahwa di Jakartalah kehidupannya yang sebenarnya.
Bianca yakin aa sudah dewasa dan mampu menjaga dirinya dengan baik dan berjanji akan menengo aa sesering mungkin. Sang kakak tersenyum dan meminta Bianca tak perlu mengkhawatirkannya, karena kalau seperti itu, aa jadi ragu, siapa yang sebenarnya kakak.
Semuanya tersenyum.

<><><><*********><><><>

Kepala Bianca, Belden dan beberapa penumpang lain terbentur ke jok depan ketika supir travel mereka mengerem mendadak.
Mereka senatap sang sopir dengan pandangan, “Ada apa?”.
“Maaf mas-mas… mba-mba… mobil ini sekarat lagi, sepertinya kita tidak bisa melanjutkan perjalanan. Mobil dikantor juga sedang dipakai semua, jadi tidak ada yang bisa menggantikan mobil ini!”
Penumpang mengomel, Bianca menatap Belden dengan tatapan “Apa yang mesti kita lakukan?”
Belden menganggkat bahu.
“Hmmm, tidak jauh dari sini, ada terminal bis, tinggal lurus saja. Tapi saya akan lebih senang jika anda menunggu saya!” Seru pak sopir tertawa, penumpang makin geram karena saat-saat menjenuhan seperti ini Pak Supirnya masih sempat tertawa.
Tapi Belden dan Bianca beda, ia ikut tertawa juga dan ditanggapi dengan tatapan sinis para penumpang lain.
Sebelum suasana makin panas terjadi Bianca dan Belden lebih memilih meninggalkan travel yang mereka tumpangi dan berjalan menuju terminal yang katanya tidak jauh dari tempatnya sekarang, tapi ah entahlah, batang hidung terminal itupun sama sekali belum kelihatan, sedang Bianca sekarang saja sudah terlihat kelelahan.
“Bisa kurus nih badan gua kalo tiap hari kayak gini!”
Belden tersenyum.
“Hmmm, pak supir tadi bohong deh kayaknya, katanya terminal gak jauh dari sini, tapi mana coba?”
“Jangan ngeluh terus, nanti energynya makin terkuras, tambah capek deh!”
Bianca berhenti, dia kemudian duduk di pinggir jalan, menyelonjorkan kakinya.
Melihat Bianca berhenti, Belden yang sudah berjalan duluan pun mundur kembali menghampiri Bianca, “Mau gua gendong lagi?” tawarnya.
“Bianca tersenyum, tapi buru-buru ia menghapus senyumnya, “Nanti kalo tangan Lu sakit gimana? Hmm, tapi rejeki gak boleh di tolak kan?”Bianca naik kepunggung Belden, “Kalo tangan lu sakit bukan tanggung jawab gua ya!”.
Belden mengangguk mantap.
Diperjalanan, bianca seperti biasanya, jadi gadis yang penuh semangat dan cerewet, sedang Belden hanya menanggapinya dengan senyuman dan sesekali mengangguk. Bianca jengkel dan merasa tak dianggap karena Belden tidak seperti biasanya. Belden juga kan sebenarnya sama seperti dirinya, tak bisa diam dan berisik. Biancapun memutuskan berhenti bicara.
“Kok diem!”
“Abis nggak direspon!”
“Bukan nggak ngerespon, gua Cuma nggak mau kehilangan momen ini, akhir-akhir ini kan kita jarang banget barengan kayak gini, gua dengerin lu kok, tapi gua gak maul u berenti bicara, karena gua suka denger dan liat lu bayak bicara!”
Pipi Bianca memerah, kata-kata Belden barusan membuatnya malu sekaligus salting.
Ya, Belden ingin benar-benar menikmati hari bersama Bianca ini.
Ia ingin mengingat saat ini. Karena ia sangat menyadari ada waktunya ia tak bisa bersama seperti ini lagi dengan Bianca.
Ia ingin mengingat saat ini, saat-saat ia dan Bianca sangat menikmati persahabatan mereka tanpa ada gangguan satu pihakpun.
Ia ingin menginggat saat ini, karena saat ini membantunya untuk hidup lebih baik.
Ia ingin mengingat saat ini, saat dimana ia mensyukuri apapun yang terjadi padanya dan Bianca.
Mencintai orang yang tak bisa ia miliki membuat ia menderita dan terluka. Tidak, tidak hanya itu, mencintai orang yang tak bisa dimiliki juga membuat orang-orang disekitarnya terluka.
Ia merasa tak bisa melupakan Bianca, ia merasa hidup ditepi jurang setiap hari, ia merasa selalu sedih dan serba salah. Ia merasa ada waktu dimana apapun yang dikatakan orang yang berusaha menghiburnya sama sekali tak membantu. Tapi, ketika ia mendapati Bianca disisinya dan tersenyum untuknya, ia merasakan semua ini begitu indah.
Bianca satu-satunya orang yang Belden syukuri keberadaannya. Karena dengan Bianca, biarpun ia terluka, ia merasa sangat bahagia.



<><><><*********><><><>

No comments:

Post a Comment