Pages

Tuesday, 14 February 2012

Only You #29


Belden sudah kembali menjadi Belden yang bianca kenal dahulu. Bianca senang karena Belden hidup bahagia dengan dunianya tanpa membahas lagi tentang perasaannya.
Borneo mengecup pipi Bianca, “Sayang, kok ngelamun? Ngelamunin yang jorok-jorok ya?”
“Hmmm, itu, itu, apa anu!”
“Pasti mikirin Belden?” Tebak Borneo.
Bianca tak bisa menampiknya, ia memang sedang memikirkan Belden, tentang masa depan Belden, kisah cinta Belden dan lain sebagainya tentang Belden. Bagaimanapun ia sudah menganggap Belden adiknya, ia merasa masa depan Belden adalaha tanggung jawabnya juga. Bianca mengangguk agak ragu.
“Belden… Belden… Belden… kenapa selalu Belden?” Borneo ngambek.
Bianca menghela nafas, belum sempat ia berkata-kata, Borneo sudah lebih dulu memenggal kata-katanya.
“Jika dia tidak merasakan sakit, dia tidak akan tahu rasa sakit yang sebenarnya. Jangan lagi merasa bersalah, kamu tau kan ditolak adalah salah satu konsekuensi logis dari mencintai?”
“Ta.. tapi…!”
Lagi Borneo memotong ucapan Bianca, “Tapi apa? aku tuh gak suka kalo kamu mikirin ato ngomongin laki-laki lain saat kamu lagi sama aku, aku cemburu!”
Bianca tersenyum kemudian memegang lengan Borneo, “Sekalipun aku menutup mataku, yang ku liat hanya kamu, so, kamu nggak boleh cemburu!”
Borneo menatap Bianca sambil tersenyum menggoda, “Ih gombal…!” Serunya kemudian mencubit dagu Bianca.
Bianca ikut tersenyum, kemudian memeluk Borneo, “Jangan ngambek-ngambek lagi ya sayang, jelek tau kalo ngambek!”
“Ah kata siapa? Aku ngerasa ganteng banget kalo ngambek!”
Bianca mencibir, “PD!”
Borneo nyengir kuda, “Buktinya kamu senyum-senyum gitu liat aku, itu karena ganteng aku kan?”
Bianca menatap Borneo tajam, “Siapa yang senyam-senyum? GR sendiri dih!”
Borneo menatap Bianca sambil tersenyum menggoda, mau tak mau Bianca pun ikut tersenyum juga karena Borneo memiliki senyum yang menular.
“Tuh kan senyum!”
“Ih apaan sih!”
“Cie, terpesona liat kegantengan aku!”
Bianca mengerutkan kening, masih dengan senyum yang mengembang, kemudian berdecak heran.
Borneo mempererat pelukannya, “Love you!” Biciknya tepat ditelinga Bianca.
“Love you too!” Balas Bianca dengan berbisik pula.


<><><><*********><><><>

Belden menjatuhkan tubuhnya ke kasur.
Berpura-pura semuanya baik-baik saja, berpura-pura menerima kenyataan bahwa Bianca tak bisa menjadi miliknya, sungguh membuatnya saaangggggaaattttt lelah.
Sebagai seorang pria, dia memang belum tahu cara mencintai dengan baik. Dari kecil ia memang tak mengenal cinta, dari kecil ia memang tak dibesarkan oleh cinta. Orang tunanya terlalu sibuk dengan pekerjaan dan urusannya masing-masing sampai-sampai mereka tak punya waktu untuk memberikan sedikit saja perhatian untuk Belden. Mereka pikir, uang bisa membeli apapun termasuk kebahagiaan Belden, termasuk rasa cinta yang Belden butuhkan. Yang ia tau, cinta itu nggak egois. ia tidak mungkin terus-terusan memaksakan kehendaknya, ia hanya ingin Bianca bahagia, setidaknya dengan melihat Bianca bahagia, iapun turut bahagia meski hati kecilnya sakit luar biasa. Bianca adalah alas an yang membuatnya bertahan, Bianca adalah alasan yang membuatnya hidup, Bianca adalah orang yang ingin ia lihat setiap hari, sepanjang hidupnya.
Jujur, Bianca membuatnya lelah, tapi kalau ia berhenti memikirkan Bianca, ia merasa semakin tersiksa dan itu membuatnya lebih lelah. Belden menghela nafas, kemudian meraih foto Bianca yang ia selipkan dibawah bantalnya. Ia menatap foto itu lekat-lekat lalu mendekapnya erat. “Aku cinta kamu, Bi! Aku cinta kamu! Jika aku berhenti melihatmu, dadaku sesak, rasanya lelah ½ mati. Aku benar-benar mencintaimu, entah bisa atau tidak, namun demimu aku akan berusaha menghapus semua perasaan ini!”.


<><><><*********><><><>

No comments:

Post a Comment