Belden
sudah kembali menjadi Belden yang bianca kenal dahulu. Bianca senang karena
Belden hidup bahagia dengan dunianya tanpa membahas lagi tentang perasaannya.
Borneo
mengecup pipi Bianca, “Sayang, kok ngelamun? Ngelamunin yang jorok-jorok ya?”
“Hmmm,
itu, itu, apa anu!”
“Pasti
mikirin Belden?” Tebak Borneo.
Bianca
tak bisa menampiknya, ia memang sedang memikirkan Belden, tentang masa depan
Belden, kisah cinta Belden dan lain sebagainya tentang Belden. Bagaimanapun ia
sudah menganggap Belden adiknya, ia merasa masa depan Belden adalaha tanggung
jawabnya juga. Bianca mengangguk agak ragu.
“Belden…
Belden… Belden… kenapa selalu Belden?” Borneo ngambek.
Bianca
menghela nafas, belum sempat ia berkata-kata, Borneo sudah lebih dulu memenggal
kata-katanya.
“Jika
dia tidak merasakan sakit, dia tidak akan tahu rasa sakit yang sebenarnya.
Jangan lagi merasa bersalah, kamu tau kan ditolak adalah salah satu konsekuensi
logis dari mencintai?”
“Ta..
tapi…!”
Lagi
Borneo memotong ucapan Bianca, “Tapi apa? aku tuh gak suka kalo kamu mikirin
ato ngomongin laki-laki lain saat kamu lagi sama aku, aku cemburu!”
Bianca
tersenyum kemudian memegang lengan Borneo, “Sekalipun aku menutup mataku, yang
ku liat hanya kamu, so, kamu nggak boleh cemburu!”
Borneo
menatap Bianca sambil tersenyum menggoda, “Ih gombal…!” Serunya kemudian
mencubit dagu Bianca.
Bianca
ikut tersenyum, kemudian memeluk Borneo, “Jangan ngambek-ngambek lagi ya
sayang, jelek tau kalo ngambek!”
“Ah
kata siapa? Aku ngerasa ganteng banget kalo ngambek!”
Bianca
mencibir, “PD!”
Borneo
nyengir kuda, “Buktinya kamu senyum-senyum gitu liat aku, itu karena ganteng
aku kan?”
Bianca
menatap Borneo tajam, “Siapa yang senyam-senyum? GR sendiri dih!”
Borneo
menatap Bianca sambil tersenyum menggoda, mau tak mau Bianca pun ikut tersenyum
juga karena Borneo memiliki senyum yang menular.
“Tuh
kan senyum!”
“Ih
apaan sih!”
“Cie,
terpesona liat kegantengan aku!”
Bianca
mengerutkan kening, masih dengan senyum yang mengembang, kemudian berdecak
heran.
Borneo
mempererat pelukannya, “Love you!” Biciknya tepat ditelinga Bianca.
“Love
you too!” Balas Bianca dengan berbisik pula.
<><><><*********><><><>
Belden
menjatuhkan tubuhnya ke kasur.
Berpura-pura
semuanya baik-baik saja, berpura-pura menerima kenyataan bahwa Bianca tak bisa
menjadi miliknya, sungguh membuatnya saaangggggaaattttt lelah.
Sebagai
seorang pria, dia memang belum tahu cara mencintai dengan baik. Dari kecil ia
memang tak mengenal cinta, dari kecil ia memang tak dibesarkan oleh cinta.
Orang tunanya terlalu sibuk dengan pekerjaan dan urusannya masing-masing
sampai-sampai mereka tak punya waktu untuk memberikan sedikit saja perhatian
untuk Belden. Mereka pikir, uang bisa membeli apapun termasuk kebahagiaan
Belden, termasuk rasa cinta yang Belden butuhkan. Yang ia tau, cinta itu nggak
egois. ia tidak mungkin terus-terusan memaksakan kehendaknya, ia hanya ingin Bianca
bahagia, setidaknya dengan melihat Bianca bahagia, iapun turut bahagia meski
hati kecilnya sakit luar biasa. Bianca adalah alas an yang membuatnya bertahan,
Bianca adalah alasan yang membuatnya hidup, Bianca adalah orang yang ingin ia
lihat setiap hari, sepanjang hidupnya.
Jujur,
Bianca membuatnya lelah, tapi kalau ia berhenti memikirkan Bianca, ia merasa
semakin tersiksa dan itu membuatnya lebih lelah. Belden menghela nafas,
kemudian meraih foto Bianca yang ia selipkan dibawah bantalnya. Ia menatap foto
itu lekat-lekat lalu mendekapnya erat. “Aku cinta kamu, Bi! Aku cinta kamu! Jika
aku berhenti melihatmu, dadaku sesak, rasanya lelah ½ mati. Aku benar-benar
mencintaimu, entah bisa atau tidak, namun demimu aku akan berusaha menghapus
semua perasaan ini!”.
<><><><*********><><><>
No comments:
Post a Comment