Belden
menyenggol bahu sahabatnya dan dengan bahasa matanya, dia seakan menyuruh
Bianca untuk tidak melamun lagi. Ya, setelah ditinggal pergi Benua, Bianca
memang lebih sering menghabiskan waktunya untuk melamun.
“Sudah
saatnya lu ngelupain dia dan pacaran sama gua!” Seru Belden penuh percaya diri.
Bianca
menyipitkan matanya,
“Wajah
gua emang gak seoriental Benua, gua juga gak berlesung pipit. Tapi, kalo
dibandingin sih, gantengan juga gua!”
“Hmmm,
PD banget!”
“Fakta
non, fans gua banyak, nah Benua, Cuma lu doang!”
“Orang-orang
kan cuma liat lu dari luarnya, mereka gak tau lu itu sebenernya cowok rapuh,
egois, tukang kentut, tukang ngorok….!”
Belum
sempat Bianca melanjutkan kata-katanya, Belden sudah lebih dulu membekap
mulutnya. “Please cukup!” Serunya jelas tidak bahagia, ah, sepertinya Bianca
mengingat betul semua kekurangannya. “Jelek banget ya, gua dimata lu?”
Bianca
mengangguk mantap. “Banget!”
“Terus
sampe kapan lu bakalan kayak gini? Tenggelam dalam cinta yang jelas-jelas cowok
itu gak mau sama lu!”
Bianca
mengangkat bahu, “Entahlah, gua juga gak tau!” ia menghela nafas, ia tak mampu
menyembunyikan rasa sedihnya.
Belden
memeluk Bianca, “Bi, bisa kan sekali aja lu liat gua sebagai lelaki!”
Bianca
mengerutkan kening, ia berusaha melepaskan pelukan Belden, namun bukannya
melepaskan, Belden malah memeluknya makin erat.
“Den,
apa-apaan sih lu? becandaan kayak gini, gak lucu tau!”
Belden
merasakan kehagatan menjalar diseluruh tubuhnya, ia merasa inilah saat yang
tepat untuk menuangkan perasaannya.
“Bi,
lu tau, lu paling berharga dalam hidup gua! lu adalah alasan gua untuk hidup.
Gua suka lu sejak orang tua gua bercerai, lu yang ngasih gua kekuatan, lu yang
bikin gua nerima kenyataan, lu juga yang bikin gua masuk kelas akselerasi yang
hampir bikin gua gila karena belajar sangat keras supaya gua bisa seangkatan
sama lu. lu alas an gua selalu bersikap dewasa, and cool karena gua ingin lu
ngeliat gua sebagai seorang cowok yang bisa ngelindungin dan selalu ada buat
lu. apa yang gua lakuin semuanya buat lu, tapi gua ngerasa, makin kesini lu
makin asing, lu makin jauh sama gua. Dan gua gak bisa biarin itu, gua ingin lu
hanya jadi milik gua. Lu mau kan jadi cewek gua?”
Bianca
tak pernah berharap ada hari ini, ia benar-benar menganggap Belden sahabatnya
dan ia sama sekali tak pernah berfikir bahwa Belden mencintainya. Ia bingung,
semuanya jadi terasa aneh. Ia menatap mata Belden, ia harap itu hanya lelucon,
tapi tak sedikitpun terlihat keraguan dimata indah itu. “Sumpah Den, bilang
sama gua lu lagi pura-pura, lu lagi ngerjain gua!”
“Gua
gak pernah becanda soal perasaan, pertanyaan gua serius. Lu mau kan jadi pacar
gua? Jadi pendamping hidup gua sampe mati?”
“Sumpah
Den, ini bener-bener mengejutkan gua! gua gak pernah berfikir ke arah situ,
karena gua sama sekali gak pernah berharap lu suka sama gua, karena gua udah
nyaman sama hubungan kita yang udah kayak kakak adik gini!”
“Please
Bi, kasih gua kesempatan, lihat gua sebagai seorang laki-laki yang mencintai
lu!”
“Gua
gak bisa Den, karena sampe kapanpun dihati gua, lu tuh tetep sobat gua!”
“Kalo
gitu, gua berenti jadi sobat lu!” Seru Belden sambil mendorong Bianca ke
tembok, “Gua berenti jadi sobat lu dan sekarang gua ingin lu pandang sebagai
seorang laki-laki!” Seru Belden kemudian mengecup bibir Bianca, Bianca
mendorong badan Belden menjauh sebelum Belden bertindak semakin jauh lalu
menamparnya, “Gila!!!” serunya sebelum berlalu meninggalkan Belden.
“Gua
gila karena lu Bi!” seru Belden penuh amarah… “Aaaaarrrrrrrgggghhhhhhh!”
serunya kemudian menendang meja. Menuangkan kekesalannya.
<><><><*********><><><>
No comments:
Post a Comment