Kejadian dimana terkuak
masalah ke-gay-an Benua dan kisah cinta Belden pada Bianca yang hanya cinta
satu pihak sudah satu bulan berlalu.
Namun masih tetap saja
hangat dibicarakan.
Dan sudah satu bulan
juga Benua menghilang, tak menampakaan batang hidungnya sekalipun. Itu membuat
Bianca amat sangat cemas. Ya, Bianca masih belum bisa menghapus bayang-bayang
Benua dari hatinya. Senyum Benua, gerak langkah Benua, gaya bicara Benua, keramahan
Benua, semuanya masih terekam jelas diingatannya.
Jujur, ia rindu senyuman
Benua yang mendamaikan hatinya, ia rindu tatapan Benua yang tajam tak mengenal
rasa takut, namun menyimpan banyak teka-teki.
Ia tak peduli apa kata
orang tentang Benua, bagi Bianca benar dan salah itu sesuatu yang subjektif dan
setiap orang menjalani hidupnya dengan cara berbeda. Apa yang kita lihat salah,
belum tentu salah dimata oeang lain. Begitu juga sebaliknya, apa yang kita
lihat benar, belum tentu benar dimata orang lain. So, ia menghormati cara
pandang dan pola pikir setiap manusia. Karena tidak ada jawaban pasti bagaimana
cara menjalani hidup dengan baik. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
Bagi Bianca, meski
sedikit berbeda dengan kebanyakan orang, tak ada yang salah pada diri Benua.
Orang-orang yang membuat asumsi negative tentang Benua bagi Bianca adalah
orang-orang yang tak mampu menghargai bertapa dahsyatnya kekuasaaan Tuhan. Coba
pikir, kalo boleh memilih, gua yakin para gay atau homo gak ada yang mau
memilih jadi gay atau homo, begitupula para pelacur, siapa sih yang mau jadi
pelacur? Gak ada, gak ada yang mau hidup jadi sampah masyarakat. Tapi kadang
Takdir berkata lain, tidak semua orang bisa bahagia pada waktu dan cara yang tepat.
Salahkah perasaan ini
saat Bianca sebenarnya tau perasaan Benua yang sesungguhnya? Huffhhh, semua ini
terasa berat. Ingin rasanya kembali ke hari sebelum orang-orang tau bahwa Benua
gay dan hari sebelum Borneo mengakui perasaan cintanya pada Bianca. ya, hari dimana
semuanya terasa indah dan tidak begitu sulit. Sekarang semuanya serba sulit,
terasa lebih melelahkan dibanding sebelum-sebelumnya. Ingin sekali rasanya
Bianca kembali kehari dimana teman-temannya bisa tersenyum dan bekerja satu
sama lain penuh semangat. Hufh!
Lamunan Bianca terhenti
ketika hpnya berbunyi, ia segera meraih dan mengangkatnya.
“Halo!”
“Halo Bi, ini gua
Benua!”
Benua? Apa ia tidak
salah dengar? Ini pasti halusinasinya karena ia begitu merindukan Benua, ia
menatap layar ponselnya. Nomor itu tak bernama. Ya Tuhan, sepertinya Benua
membuatnya hampir gila.
“Bi?”
“Eh iya, iya.. hmmm, ada
apa Ben? Lu Benua temen sekelas gua
kan?”
“Ya iyalah, Benua siapa
lagi coba!”
“Ya Tuhan Benua, lu
kemana aja, gua sama temen-temen cemas tau!”
“Ceritanya panjang,
sekarang gua ada di taman bermain anak di kompleks rumah lu, lu bisa kan dateng
kesini, ada hal penting yang harus gua sampein!”
“Hal penting?”
“Iya, so bsa kan lu
kesini?”
“Kenapa lu gak kesini!”
“Gua gak mau berurusan
sama pengawal lu!”
“Pengawal?”
“Iya, si Belden. Tau sendiri
kan dia gak suka sama gua, so, dia gak akan ngasih gua ruang buat ngomong 4
mata sama lu!”
“Dia lagi tidur di
kamarnya kok!”
“Nanti kalo dia bangun
gimana, mending kita ketemuan disini aja deh!”
“Oh, oke kalo gitu, gua
tutup ya, Bye!”
Tut…
Sambungan jarak jauh
itupun terputus.
Setelah menutup HPnya Bianca
langsung berlari meninggalkan rumah dengan penuh semangat menghampiri Benua.
Menyadari Bianca datang
Benua bangkit dari tempat duduknya kemudian melambaikan tangan.
Bianca menatap mata
Benua dalam, sama, ya Benua masih tetap sama, tak ada yang berubah dan Bianca
t4rsenyum lega karena ia bisa memastikan keadaan Benua baik-baik saja. Kemudian
Bianca pun langsung memeluk Benua, melepaskan rasa rindunya.
“Gua kangen sama lu Ben,
lu kemana aja?”
Benua tersenyum, “Gua
butuh waktu buat berfikir dan menenangkan diri, Bi!”
“Emang lu punya otak
gitu, sampe berfikir segala?” Bianca mencairkan suasana.
Benua tersenyum dan mengacak
rambut Bianca, “Thanks ya Bi!”
“Thanks for what?”
“Lu tetep ada dipihak
gua, padahalkan gua udah nyakitin lu banget!”
Bianca tersenyum, ia
menghela nafas, “Hidup itu berat ya!”
Benua menatap Bianca, “Sorry
Bi, sorry karena sampe hari inipun gua masih menbcintai Borneo!”
“No problem, cinta itu
gak bisa dipaksain, but, bisa mastiin lu baik-baik aja gua udah bersyukur, gua
kira lu frustasi terus bunuh diri kayak
disinetron-sinetron!”
“Gua gay, tapi gua gak
lebay kayak lu!”
Ada rasa sakit yang
menjalar tiba-tiba dibenak Bianca saat Belden dengan tenang bilang
ke=gay-annya.
“Bi! Gua beruntung punya
lu!” Benua mempererat pelukannya, “Andai bisa, semuanya pasti akan lebih mudah!”
“Hmmmppphh, kadang dalam
hidup ini ada hal-hal yang seberapa keraspun kita mencoba atau melupakan ,
hasilnya tetep gak bisa!”
“Bi, besok gua berangkat
ke Aussie!” seru benua hati-hati
“Ke Aussie?” Bianca mengulang
kata-kata Benua dengan intonasi yang sama sambil melepaskan pelukan Benua dan
menatap Benua heran.
Benua mengangguk, “Gua
berencana pindah kesana! Disana mungkin akan lebih banyak tempat buat
orang-orang kayak gua! meski gua keliatan tegar, tapi sejujurnya gua lelah
dianggap sampah masyarakat kayak gini!”
Hati Bianca mencelos,
mendadak seperti ada sebongkah batu besar yang menyumbat hati, jiwa dan
kerongkongannya. Matanya memanas.
“Hei… jangan nangis gitu
dong!” Benua menghapus air mata Bianca.
Bianca meraih lengan Benua
yang sedang menyentuh wajahnya, ia memasukan jari jarinya, pada senggang
jari-jari Benua, “Gua sayang lu, Ben! Gua gak peduli, sama perkataan orang, gua
gak peduli lu ngebales ato nggak perasaan gu, tapi, ditinggal jauh sama lu,
bener-bener masalah buat gua, karena tanpa lu, gua ngerasa hampa. Sebulan gua
gak liat wajah lu rasanya seperti gua kehilangan oksigen secara perlahan-lahan!
Apalagi lu harus stay di Aussie, gua gak bisa biarin itu, so please don’t go!”
“gua ngerti prasaan lu,
karena sadar ato nggak, perasaan gua, Borneo dan lu tuh sama! Tapi kalo gua
tetep maksain disini, gua akan melukai banyak pihak, meskipun orang tua gua, lu
dan temen-temen nerima gua, nerima keadaan gua, tapi tetep akan ada segelintir
orang yang gak suka sama gua dan menjugde gua sampah masyarakat.
Tangis Bianca makin
deras, ia mengerti kondisi Benua sekarang, pasti amat sangat berat. Ia menangis
sambil menatap Benua sampai tersedu-sedu.
Setelah Bianca
menetralkan kesedihannya, ia mengecup bibir Benua, reaksi yang sebenarnya tidak
Benua sangka, tapi ia tak marah dengan tindakan Bianca barusan. Ia malah
memanggut bibir Bianca. keduanya saling berbagi, saling member.
Belden mengelus pipi
Bianca, “kita sama-sama berdiri di jurang cinta yang menyakitkan, gua harap
semuanya akan membaik setelah gua pergi and please don’t cry because me, gua
gak pantes lu tangisin, Bi!
Bianca menghela nafas, “Hmmmmmmmppphhhh,
gua juga heran kenapa gua bisa jatuh cinta sama orang macam kodok kutilan kayak
lu!” disaat-saat seperti ini Bianca masih menyempatkan diri melucu.
Benua tersenyum, “Kodok
kutilan? Jelek banget dong gua!”
Keduanya tenggelam dalam
tawa dan haru. Rasanya sakit sekali. Baik bagi Benua, ataupun Bianca. namun
keduanya seolah bersikap baik-baik saja.
Huuuffhhh!
<><><><*********><><><>
No comments:
Post a Comment