Pages

Friday, 6 January 2012

Only You #16


Dengan langkah kaki yang terasa berat Bianca mengendap-endap masuk rumah, ia tak mau orang-orang rumah tahu ia pulang sangat telat. Ia tersenyum ketika berhasil sampai didepan pintu kamarnya, karena itu berarti tak ada satu orangpun yang tau.
“Dari mana lu?”
Bianca tersentak kaget, ya benar-benar kaget. Bianca menorah, kemudian tersenyum, “Bukan urusan lu!”
Belden mendorong Bianca, sampai Bianca terpojok ke dinding, “Jelas jadi urusan gua, kalo lu kenapa-napa gimana?”
“Den, lu bukan satpam gua, lu bukan siapa-siapa gua, gua udah dewasa, gua bisa jaga diri gua, so, gua mohon, lu jangan kayak gini, gua juga punya privacy kali!” Bianca mendorong Belden.
“Udah ah, gua capek, gua mau tidur!” Bianca mask kamar dan langsung menguncinya.
Belden mengetuk-ngetuk pintu kamar Bianca, “Bi, gua belum selesai ngomong, buka Bi!”
“Gua cape, Den! Please, Besok lagi ya kita ngomongnya!”
“Bi, lu tau kan besok hari apa? Malam ini gua pengen ngelewatin sama lu! Gua janji, gua gak akan nyinggung, nyinggung apa yang lu lakuin, asal lu keluar dan temenin gua!”
“Janji?”
“Ya, gua janji!”
Bianca tersenyum kemudian membuka pintu, waktu tepat menunjuukan pukul 00:03 WIB. Bianca menyiram segelas air tepat ke muka Belden “Happy Birth Day, kawannnn!!!” serunya kemudian memeluk Belden. Belden pun menyambut pelukan itu dengan mempererat pelukannya. Saking bahagianya, sampai-sampai gelas yang dipegang Bianca jatuh dan pecah. Keduanya tersentak, reflex Bianca ingin membereskan serpihan kaca itu, namun tangan Beldenmenahannya, “Udah, biar gua aja! Lu ambil sapu sama tempat sampah gih!”
Bianca tersenyum kemudian menuruti apa kata Belden. Ketika Bianca kembali, ia melihat Belden terluka, tangannya tergores pecahan gelas itu darah segar menetes dari lengannya, Bianca buru-buru meraih tangan Belden dan menghentikan pendarahan itu dengan meletakan lengan Belden di kaosnya, “Lu mestinya lebih hati-hati!”
Belden tersenyum, “Gak usah sepanik itu kali!” tangan belden yang satunya mengacak rambut Bianca. “Gak sakit kok!”
“Tapi tetep aja, darah lu keluar tau! Tunggu sebentar!” Bianca masuk kekamarnya kemudian kembali dengan membawa plester dan merekatkannya pada jari Belden yang terluka “Payah lu, baru beresin segini aja udah kena pecahannya!”
Belden menatap Bianca, mengelus pipinya lembut, kemudian memeluknya, “Thanks Bi, Thanks karena selama ini lu selalu ada disisi gua gua harap lu akan selamanya ada disisi gua!” Belden mnangis menitikan air mata
Bianca tersenyum, ia sangat tau penderitaan Belden, ya, sangat tahu. Ia tau bagaimana menjalani hidupnya, ia tau bagiaman kesepiannya Blden ia tau kekosongan hati Belden. Meski Belden tak pernah terlihat sedih tapi ia tau, bagaimana menderitanya Belden hidup tanpa orang tua yang seharusnya ada disampingnya, memperhatikannya dan memberinya kekuatan saat terjatuh.
Bianca menepuk-nepuk bahu Belden, “Ya, gua akan selalu ada disamping lu, Den! Jadi sahabat terbaik lu!”
Sahabat terbaik? Ahhh, belden ingin lebih dari itu. Namun mulutnya tak bisa berkata apa-apa, mulutnya seolah terkunci.
Bianca menghapus air mata Belden. “Hmmm, besok gua punya kejutan buat lu, tapi syaratnya lu jangan pulang ke rumah sampe jam 7 malem. Oke!”
“Kejutan? Serius?” Belden antusias!
Bianca mengangguk sambil tersenyum,
“Thanks bi, you are my everything!” seru Belden meniru seorang gadis kecil di iklan sebuah produk susu yang Bianca sangat suka kemudian mengecup kening Bianca.
Bianca menghapusnya dengan tangan, “Etdah, gak pake kecup-kecupan kali!”
Belden tersenyum, “Sekali-sekali nggak apa-apa kan!”
“Bukan muhrim!”
“Merit yuk, biar muhrim!”
Bianca menyipitkan matanya, “Gila! Mau dikasih makan apa anak guan nanti?”
“Rumput, nyokapnya juga suka rumputkan?”
“Enak aja, emang gua kambing!”
“Kalo lu kambing, lu kambing tercantik yang pernah gua liat, Bi!”
“Pleaseee, secantik apapun kambing, tetep gak akan manusia yang cinta!”
“Gua bi, gua akan tetep cinta lu, jadi apapun lu!”
“Ahhh, gombal! Lu aja jadi kambing, guamah ogah! Hoooaaaammmmm! Udah ah, gua ngatuk!” seru Bianca masuk kamarnya “Lu beresin sendiri ya!”
“Tega lu bi?”
Bianca tersenyum tanpa menjawab hanya melambaikan tangannya, ia tak kuasa menahan kantuk, kemudian menutup pintu kamarnya.
Belden tersenyum menatap pintu kamar Bianca “Mimpiin gua ya!” Teriak Belden.
“Ogaaahhh!” Jawab Bianca cepat.
Belden tersenyum lagi. Ingat kata-kata Bianca tentang kejutan. Ah, ia tak sabar menunggu hari esok.


<><><><*********><><><>

No comments:

Post a Comment