Dengan
langkah kaki yang terasa berat Bianca mengendap-endap masuk rumah, ia tak mau
orang-orang rumah tahu ia pulang sangat telat. Ia tersenyum ketika berhasil
sampai didepan pintu kamarnya, karena itu berarti tak ada satu orangpun yang
tau.
“Dari
mana lu?”
Bianca
tersentak kaget, ya benar-benar kaget. Bianca menorah, kemudian tersenyum, “Bukan
urusan lu!”
Belden
mendorong Bianca, sampai Bianca terpojok ke dinding, “Jelas jadi urusan gua,
kalo lu kenapa-napa gimana?”
“Den, lu
bukan satpam gua, lu bukan siapa-siapa gua, gua udah dewasa, gua bisa jaga diri
gua, so, gua mohon, lu jangan kayak gini, gua juga punya privacy kali!” Bianca
mendorong Belden.
“Udah
ah, gua capek, gua mau tidur!” Bianca mask kamar dan langsung menguncinya.
Belden
mengetuk-ngetuk pintu kamar Bianca, “Bi, gua belum selesai ngomong, buka Bi!”
“Gua
cape, Den! Please, Besok lagi ya kita ngomongnya!”
“Bi, lu
tau kan besok hari apa? Malam ini gua pengen ngelewatin sama lu! Gua janji, gua
gak akan nyinggung, nyinggung apa yang lu lakuin, asal lu keluar dan temenin
gua!”
“Janji?”
“Ya, gua
janji!”
Bianca
tersenyum kemudian membuka pintu, waktu tepat menunjuukan pukul 00:03 WIB.
Bianca menyiram segelas air tepat ke muka Belden “Happy Birth Day, kawannnn!!!”
serunya kemudian memeluk Belden. Belden pun menyambut pelukan itu dengan
mempererat pelukannya. Saking bahagianya, sampai-sampai gelas yang dipegang Bianca
jatuh dan pecah. Keduanya tersentak, reflex Bianca ingin membereskan serpihan
kaca itu, namun tangan Beldenmenahannya, “Udah, biar gua aja! Lu ambil sapu sama
tempat sampah gih!”
Bianca
tersenyum kemudian menuruti apa kata Belden. Ketika Bianca kembali, ia melihat
Belden terluka, tangannya tergores pecahan gelas itu darah segar menetes dari
lengannya, Bianca buru-buru meraih tangan Belden dan menghentikan pendarahan
itu dengan meletakan lengan Belden di kaosnya, “Lu mestinya lebih hati-hati!”
Belden
tersenyum, “Gak usah sepanik itu kali!” tangan belden yang satunya mengacak
rambut Bianca. “Gak sakit kok!”
“Tapi
tetep aja, darah lu keluar tau! Tunggu sebentar!” Bianca masuk kekamarnya
kemudian kembali dengan membawa plester dan merekatkannya pada jari Belden yang
terluka “Payah lu, baru beresin segini aja udah kena pecahannya!”
Belden
menatap Bianca, mengelus pipinya lembut, kemudian memeluknya, “Thanks Bi,
Thanks karena selama ini lu selalu ada disisi gua gua harap lu akan selamanya
ada disisi gua!” Belden mnangis menitikan air mata
Bianca
tersenyum, ia sangat tau penderitaan Belden, ya, sangat tahu. Ia tau bagaimana
menjalani hidupnya, ia tau bagiaman kesepiannya Blden ia tau kekosongan hati
Belden. Meski Belden tak pernah terlihat sedih tapi ia tau, bagaimana
menderitanya Belden hidup tanpa orang tua yang seharusnya ada disampingnya,
memperhatikannya dan memberinya kekuatan saat terjatuh.
Bianca
menepuk-nepuk bahu Belden, “Ya, gua akan selalu ada disamping lu, Den! Jadi sahabat
terbaik lu!”
Sahabat terbaik?
Ahhh, belden ingin lebih dari itu. Namun mulutnya tak bisa berkata apa-apa,
mulutnya seolah terkunci.
Bianca
menghapus air mata Belden. “Hmmm, besok gua punya kejutan buat lu, tapi
syaratnya lu jangan pulang ke rumah sampe jam 7 malem. Oke!”
“Kejutan?
Serius?” Belden antusias!
Bianca
mengangguk sambil tersenyum,
“Thanks
bi, you are my everything!” seru Belden meniru seorang gadis kecil di iklan sebuah
produk susu yang Bianca sangat suka kemudian mengecup kening Bianca.
Bianca
menghapusnya dengan tangan, “Etdah, gak pake kecup-kecupan kali!”
Belden
tersenyum, “Sekali-sekali nggak apa-apa kan!”
“Bukan
muhrim!”
“Merit
yuk, biar muhrim!”
Bianca
menyipitkan matanya, “Gila! Mau dikasih makan apa anak guan nanti?”
“Rumput,
nyokapnya juga suka rumputkan?”
“Enak
aja, emang gua kambing!”
“Kalo lu
kambing, lu kambing tercantik yang pernah gua liat, Bi!”
“Pleaseee,
secantik apapun kambing, tetep gak akan manusia yang cinta!”
“Gua bi,
gua akan tetep cinta lu, jadi apapun lu!”
“Ahhh,
gombal! Lu aja jadi kambing, guamah ogah! Hoooaaaammmmm! Udah ah, gua ngatuk!”
seru Bianca masuk kamarnya “Lu beresin sendiri ya!”
“Tega lu
bi?”
Bianca
tersenyum tanpa menjawab hanya melambaikan tangannya, ia tak kuasa menahan
kantuk, kemudian menutup pintu kamarnya.
Belden
tersenyum menatap pintu kamar Bianca “Mimpiin gua ya!” Teriak Belden.
“Ogaaahhh!”
Jawab Bianca cepat.
Belden
tersenyum lagi. Ingat kata-kata Bianca tentang kejutan. Ah, ia tak sabar
menunggu hari esok.
<><><><*********><><><>
No comments:
Post a Comment