Entahlah apa yang
terjadi kemarin malam, Bianca tak tahu pasti. yang jelas baik Bunga ataupun
Belden sama-sama terlihat tak besemangat. Hmmm, bukankah mereka saling
mencintai? Kenapa setelah pertemuan semalam semuanya jadi serba sulit. Dan
kenapa kejadian semalam berimbas juga pada Bianca, kenapa keduanya seolah butuh
waktu untuk bicara dengannya. Ada apa sebenarnya? Bahkan Belden sampai tega
membiarkan Bianca pulang sendiri. Ya Tuhan kenapa semuanya jadi semakin sulit
seperti sekarang?
Bianca berjalan
menyusuri koridor sendiri, hmmm, rasanya sedikit kesepian. Tak ada yang
menemaninya saat ini.
“Hooooyyyy!” Benua
memegang Bahu Bianca.
Bianca menorah, “Eh lu
Ben! Belum pulang?”
“Ini baru mau, btw, kamu
gak pulang bareng Belden?”
Bianca mengangkat bahu,
“Hmmm, entahlah… orang-orang kayaknya lagi pada sensitive!”
“Mau gua anterin?”
“Mau banget kalo gak
ngerepotin!”
Benua mengacak halus
rambut Bianca, kemudian tersenyum manis. Ah, membuat nafas Bianca sesak saja.
Namun tiba-tiba…
Bukkkkkkkkkk... Belden
datang dan langsung memukul perut Benua. Tidak hanya perut, Beldenpun menonjok
Benua berkali-kali.
“Belden, apa-apaan sih
lu!” Bianca menghalangi Belden.
“Dia!” Belden menunjuk
Benua “Dia kan yang bikin lu ninggalin gua semalem!” serunya penuh amarah.
“Ninggalin?” Bianca
mengerutkan kening, “Gua ngasih lu kesempatan buat lebih gdeket dan mengenal
Bunga, lu suka Bunag kan?”
“Suka Bunga?”
“Perhatian lu, cara lu
natap Bunga, udah ngebuktiin lu sayang sama Bunga. Gua sahabat lu, Den! Gua tau
isi hati lu!”
“Tau isi hati gua? Ha!”
Belden tertawa samar “Lu tau isi hati gua?”
Bianca mengangguk yakin.
“Nggak Bi, nggak! Lu gak
tau!” Belden menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ikut gua!” Belden menarik lengan
Bianca, namun Bianca melepaskannya dengan kasar.
Bianca malah mendekat
kearah Benua, “Lu gak apa-apa Ben?”serunya yang kemudian memegang pipi Benua
yang memar.Benua tersenyum, kemudian menggeleng.“Kita obatain luka lu di UKS!”
Bianca meraih lengan Benua kemudian memapahnya berjalan menuju UKS dan
meninggalkan Belden begitu saja.
Hati benar-benar hancur.
Ia benar-benar takut memikirkan Bianca tak lagi disampingnya, ia takut Bianca
meninggalkannya, menghempaskannya begitu saja. Ya, ia takut. Benar-benar takut.
Ia benar-benar tak bisa
berhenti menatap Bianca, ia benar-benar menyukai Bianca. ia tak sanggup, ia
benar-benar tak sanggup melihat Bianca bersama orang lain. Ia cemburu melihat
Bianca bahagia dan menatap laki-laki lain selain dirinya. Bianca hanya
miliknya. Ya, Bianca harus tetap jadi miliknya.
Benua menghentikan
langkahnya, “Bi…!”
Bianca menatap Benua,
“Kesalahpahaman ini
harus diakhiri!”
“Kesalahpahaman?” Bianca
mengerutkan dahi.
“Sorry, Bi! Hmmm, sebenernya….!”
Benua terlihat berat mengeluartkan kata-kata.
“Sebenernya apa?”
“Hmmmmmm, aku… aku… aku
gak berharap orang-orang bisa memahami dan mengerti apalagi menerima aku, aku
Cuma ingin mengungkapkan perasaannku!” Seru Benua gugup.
Deg! Jantung Bianca serasa
berhenti berdetak. Hmmm, apenyataan cinta? Ya Tuhan mungkinkah? Mungkinkah
Benua menyatakan cinta sekarang? Ya Tuhan ini benar-benar mengejutkan.
“Saat ini aku suka
seseorang, dia baik hati, manis dan suka tersenyum!”
Wah, itu kan Bianca, Ya
Tuhan! Bianca melebarkan senyumnya. Menyimak ucapan Benua dengan sangat
antusias.
“Cara dia menatap dan
memperlakukanku benar-benar membuat aku, membuat aku bahagia dan membuat
jantungku mau copot rasnya!” tatapan mata Benua menerawang “Aku menyukainya,
sejak pertama bertemu, aku menyukai semua tentang dia, aku suka senyumnya, aku
suka sikapnya, aku suka cara dia berjalan, cara dia bicara, pokoknya semua
tentang dia!” Benua menghela nafas panjang, “Namun dipikiran dia tak pernah ada
aku!”
Tak pernah? Bagaimana
bisa? Bagaimana bisa Bianca tidak memikirkan Benua? Ahh, Benua terlalu sok tau.
Bianca mengerutkan
kening, Benua menatapnya, “Yang ada dipikiran dia Cuma kamu, Bi!”
Bianca? dia? Dia siapa?
Berarti yang Benua ceritakan bukan Bianca? lalu, lalu dia siapa?
“Gua? Dia? Dia siapa?”
Tanya Bianca penasaran, mulutnya sedikit bergetar, gugup.
Benua tersenyum,
“Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa perasaan ini semakin rentan.
Saat aku berusaha melupakannya, perasaan ini semakin menghantuiku, aku sadar,
aku sadar bahwa perasaan ini seharusnya jadi perasaan yang tak boleh ada!”
Bianca makin mengerutkan
keningnya “Perasaan yang tak boleh ada?”
Benua mengangguk,
menghapus darah disekitar pangkal bibirnya, ia kemudian menghela nafas, “Aku,
aku suka Borneo!” serunya sambil menunduk. “Aku… aku dekat dengan kamu cuma
karena aku pengen Borneo sama kamu selese! Sorry Bi, Sorry bangeeettt!!! Gua
juga gak mau perasaan ini ada, gua gak mau perasaan ini terus berkembang, tapi…
tapi Tuhan berkehendak lain!”
Bianca benar-benar lemas.
ia benar-benar tak tahu apa yang ia harus lakukan, ini benar-benar mengejutkan.
Ya, sangat mengejutkan. Dadanya sesak. Bianca berpegangan pada dinding, ia tak
mampu menopang tubuhnya ini benar-benar diluar dugaan. Ini benar-benar
membuatnya shock.
“Bi!” Benua membantu
menopang tubuh Bianca.
Bianca menatap Benua
tajam, ia benar-benar tak menyangka orang yang dicintainya, yang selama ini
baik padanya, mencintai orang lain, dan perasaannya tidak wajar. Bianca
menangis. Bianca memeluk Benua. “Tega lu Ben!”
Benua serba salah, ia
tahu rasanyanya cinta bertepuk sebelah tangan, ia tahu bagaimana sakitnya itu,
ia tahu, ya, ia amat sangat tahu. “Sorry, Bi!”
Dari kejauhan Belden
memperhatikan mereka, ia marah, ia marah karerna Bianca lebih memilih orang
lain, ia marah karena nasib tak berpihak padanya, ia marah karena ia melihat
Bianca lebih bahagia dengan orang lain. Ia marah.
Belden mengepalkan
tangannya, mukanya merah penuh amarah. Menahan rasa sakit luar biasa. Ia
benar-benar tak bisa terus begini, ia tak bisa melihat ini terus, ia tak bisa
melepaskan Bianca, ia tak bisa, ya, ia tak bisa, gamang, semuanya gamang.
Ia tak tahu harus apa
dan bagaimana, ia mungkin bisa membiarkan hari ini, tapi untuk kedepan, ia tak
bisa. Bianca harus menjadi miliknya. Ya, hanya miliknya.
Ia harus mendapatkan
Bianca, ya, mendapatkan Bianca dengan cara apapun. Harus!
<><><><*********><><><>
No comments:
Post a Comment