Alana merasa sangat lelah, ya, beberapa hari ini ia menjaga Amar dirumah
sakit. Amar menyuruhnya beristirahat, awalnya Alana menolak perintah Amar, ia
tak enak hati meninggalkan Amar sendirian, tapi Amar terus memastikan dirinya
akan baik-baik saja tanpa Alana. Akhirnya Alanapun pulang ke rumah
kontarkannya.
Ada yang terasa aneh, mana Aila yang selalu datang menyambut dirinya? “Aila
sayang, mama pulang!” Serunya kemudian merebahkan
tubuhnya di sofa ruang tamu.
Tak ada
tanggapan. Hmmm, dan tak biasanya seperti ini. Kemana Aila? Apa ia tertidur? Ah,
rasa-rasanya tidak mungkin. waktu baru menunjukkan pukul 19:07 WIB, dan Aila
tidak biasanya tidur secepat ini. Dimana pula bibi yang selalu menjaga Aila? Kemana
mereka?
Alana
bangkit dari rebahnya. Mencari Aila dan bibi kekamarnya, kosong. Alana masuk
kekamar bibi, tak ada siapapun. Alana mulai panik, Ia terus memanggil bibi dan
Aila sambil terus menyusuri tempat demi tempat dikontrakannya. Kamar, dapur,
kamar mandi, ruang keluarga, ruang tamu sudah ia susuri namun hasinya nihil.
Aila dan bibi tak ada.
Kemana
mereka Ya Tuhan? Arlon? Apa mungkin Arlon yang mengambil Aila, karena Aila itu
sebenarnya anak adopsi Arlon. Tapi, bagaimana bisa? Alana tahu betul Arlon tak
suka anak kecil. Jangankan bermain bersama Aila, melihat senyum Aila pun ia tak
suka. Tapi kalo bukan Arlon siapa lagi? Hanya Arlon yang mampu membawa Aila pergi.
Apa ini konsekuensi logis dari meninggalkan Arlon? Tidak hanya kehilangan
kemewahan, Alana juga harus kehilangan Aila, permata hatinya.
Alana
mulai menangis, ia tak siap jika harus kehilangan Aila, Aila satu-satunya harta
paling berharga yang ia miliki, satu-satunya sumber kekuatan dan semangatnya. Tubuh
Alana terasa lemas, rasanya ia tak mampu lagi menopang berat tubuhnya, tapi
dengan tenaga yang tersisa ia mencoba menguatkan dirinya. Ia kembali memanggil dan
mencari bibi dan Aila.
Terima kasih Tuhan...
Alana
benar-benar merasa lega ketika ia melihat sosok Aila yang sedang bermain
kembang api bersama bibi dihalaman belakang, “Aila…..!” panggilnya sangat
Antusias.
Aila
tersenyum, “Mama!” serunya kemudian berlari menghampiri Alana.
Alana
berlutut dihadapan Aila, kemudian memeluk Aila erat dan menangis dipelukan
Aila. “Mama kangen Aila!” bisiknya tepat ditelinga gadis cilik berusia 9 tahun,
berambut panjang terurai, lesung pipit di pipinya menambah kesan manis diwajah
gadis itu.
“Aila
juga, mama jangan sibuk-sibuk lagi ya, untung ada papa, kalo nggak Aila bisa
mati kesepian tau!”
Papa?
Alana menatap seseorang yang sedari tadi berdiri dihadapan mereka, jelas itu
bukan bibi. Dan jelas ia tahu betul siapa yang Aila maksud dengan papa itu.
“Arlon?”
seru Alana antara bingung, terkejut dan ah entahlah.
Arlon
tersenyum,
Alana
mengerutkan kening. “Kamu? Kenapa kamu bisa ada disini?”
Belum
sempat Arlon menjawab pertanyaan Alana, Aila sudah terlebih dulu memotong
ucapan Arlon. “Mama sayang, mama lupa ya? Mama yang nyuruh papa temenin Aku
karena mama sibuk kan? Mama tau gak, Aila sennnnneeeeeenggggggg banget… saat mama
gak ada, papa ajak Aila jalan-jalan, papa beliin Aila Barbie, ice cream,
rumah-rumahan, baju yang banyak banget, papa juga bantuin Aila belajar dan bacain
Aila dongeng kalo Aila mau tidur. Dan papa bilang semua ini karena mama yang
suruh, makasih mama sayang!” seru Aila polos, kemudian mengecup kening, pipi
kanan, pipi kiri, hidung kemudian dagu Aila.
Alana
sedikit terkejut mendengar kata-kata Aila, Arlon melakukan itu? Arlon melakukan
yang Aila katakan? Tidak, tidak, itu pasti bukan Arlon.
“Dan
papa janji, kalo mama pulang kita mau jalan-jalan lagi!” tambah Aila
Jalan-jalan?
Tidak, kenapa semuanya jadi makin rumit, kenapa semuanya makin sulit dipahami. Kenapa
semuanya, ahhh…
Alana
mencoba mengonrtol isi pikirannya, ia tersenyum… “Sayang, maennya udahan dulu
ya, Angin malem gak baik buat kamu!”
“Tapi
ma!”
Alana lansung memotong ucapan Aila, “Kamu masuk dulu ya sama bibi, mama mau bicara dulu sama papa!”
Aila
terlihat ingin menolak, tapi bibi langsung menggendongnya masuk. Iapun tak bisa
berkata tidak, karena ia tahu seprtinya ada sesuatu yang orang tuanya
sembunyikan, ia takut jika ia bertahan diluar bersama mereka hanya akan menjadi
beban saja.
Sepeninggal Aila dan bibi semuanya menjadi dingin.
Sepeninggal Aila dan bibi semuanya menjadi dingin.
Dingin,
ya, tidak hanya cuaca yang dingin, suasanapun menjadi dingin.
“Sayang,
apa kamu masih marah sama aku?” Tanya Arlon mencoba mencairkan suasana.
Alana
diam.
“Sayang,
1 minggu kita gak ketemu, apa kamu gak kangen sama Aku?”
“Kangen?”Alana
tersenyum kecut, “Aku tak punya alas an untuk kangen kamu apalagi setelah aku
tau kamu yang sebenarnya!”
Arlon
berlutut dihadapan Alana, “Sayang please jangan siksa Aku kayak gini, kalo kamu
marah sama aku, kamu boleh pukul aku semau kamu, aku rela, asal kamu jangan
pernah berpikiran untuk meminta kita berpisah!”
Air
mata Alana kembali menetes, Alana merasa Arlon terlalu menganggap mudah ini
semua. “Apa kamu pikr, setelah kamu berlutut, masalah kita selesai, jika kamu piker
begitu, aku akan berlutut juga supaya kamu tidak menggangguku lagi!”
“Sayang,
aku minta maaf, aku benar-benar menyesal, kamu perlu tau, aku mungkin
menjelajahi banyak tubuh wanita, tapi aku tak mencintai mereka, hanya kamu, hanya
kamu yang ada dihariku sayang!”
“Cinta
itu gak egois, Lon, jika memang kamu mencintai Aku, harusnya kamu bisa
melepaskan aku! Mungkin tidak ada yang tidak bisa dimaafkan didunia ini, tapi
memaafkanmu dan melupakan kejadian itu, maaf aku tak bisa. Dan aku minta, jangan
merasa bersalah padaku, tinggalkanlah aku!”
“Sayang,
aku tau, perbuatanku tak bisa mengembalikan hati dan perasaanmu yang terluka,
namun Aku mohon beri aku kesempatan untuk membuatmu percaya dan kembali padaku,
lagi pula selama ini kamu bergantung padaku, dan aku yakin kamu tak bisa hidup
tanpa Aku!”
Alana
tersenyum, “Kamu terlalu percaya diri, aku mohon buang aku kedalam kegelapanmu!
Aku akan sangat beterima kasih jika kamu tak lagi menggangguku, dan terima
kasih karena 11 tahun ini kamu yang memenuhi semua kebutuhanku, dan maaf aku
tak bisa mengganti itu semua!”
“Lalu
bagaimana dengan Aila? Dia juga anakku! Dia adalah hadiah hari jadi kita yang ke
11!”
“Hadiah?”
Alana terkejut, “Aila itu bukan barang Lon! Apa yang kamu lakukan pada Aila
tidak benar-benar tulus dari hati kamu?”
“Aku
tak peduli siapapun, yang aku pedulikan hanya kamu Alana, hanya kamu!”
Alana
menggeleng-gelengkan kepalanya, memapah Arlon bangun dari berlututnya dan
tiba-tiba… Plllllaaaaaaaakkkkkkk…… Alana memukul pipi Arlon, “Itu untuk Aila yang
sangat tulus nganggapmu Ayah! Dan jika kamu benar-benar mencintai aku dan ingin
membuatku bahagia, aku mohon jangan ganggu aku!”
Alana
berlalu meninggalkan Arlon, Arlon hanya diam sambil mengelis pipinya yang tadi
ditampar Alana, hatinya terasa amat sangat sakit. Ia benar-benar menyesal. Amat
sangat menyesal.
≈Ω◊Ω◊Ω◊Ω
≈
Note: mohon dimaklumi jika terdapat banyak kesalahan karena adegan demi adegan ini saya langsung tulis dari otak dan belum mengalami pengeditan.
No comments:
Post a Comment