Alana menatap Amar yang
terbaring tak berdaya. Karena dirinya Amar menderita, karena dirinya pula Amar
kehilangan pekerjaannya. Entah apa yang harus Alana lakukan sekarang untuk
Amar, Alana merasa terlalu jauh menyeret Amar kedalam masalahnya. Bahkan tidak
hanya itu, karena dirinya pula hubungan Amar dan Arlonpun rusak. Alana sedih
dan merasa bersalah, namun ia tak tahu apa yang harus ia lakukan,. Haruskah ia
bertekuk lutut dihadapan Arlon supaya Arlon tak membawa-bawa Amar dalam masalah
mereka? Ya, kalo memang itu bisa ia lakukan, ia akan lakukan.
Alana mencoba melepaskan
tangan Amar yang sedari tadi menggenggam lengannya. Ia harus mencari titik, ya,
titik untuk menyelesaikan semua ini. Ia tak ingin makin banyak orang terlibat
dalam masalahnya. Ia tak ingin banyak orang menderita karenanya.
“Bisakah kamu tetap
disini?” Tanya Amar dengan mata tertutup.
Alana merasa bersalah
karena gerakan melepaskan tangan Amar itu mengganggu tidur Amar. Alana meminta
maaf berkali-kali.
Amar tersenyum kemudian
membuka matanya, ia sedikit meringis, jangankan menggerakan tubuh, menggerakan
mata saja sakit sepertinya. Ini gara-gara Arlon yang dengan begitu tega membuat
Amar begini. Alana yakin Amar tidak membalas karena Amar tak bisa melukai
Arlon. Amar bukan tipikal orang yang ditampar kemudian balas menampar.
“Boleh aku minta kamu
tetap disini?”
Aku? Baru kali ini Alana
mendengar Arlon mengakuii dirinya sebagai Aku? Ini sedikit mengherankan. Tapi ah,
apa salahnya?
Alana mengangguk. “Apa
itu sakit? Ah, pasti sakit sekali ya?”
Amar menatap mata Alana, “Sehari-dua
hari juga pasti membaik!”
Alana mengerutkan kening,
“Gimana bisa lebam dan memar kayak gitu sembuk dalam 2 hari?”
“KAmu tau, senyum kamu
adalah obat paling mujarab di dunia, jadi kamu harus tersenyum untukku supaya
aku lekas sembuh!”
Alana tersenyum, “Gombal!”
Amar balas tersenyum, “Serius!
Aku suka senyum kamu dan aku harap senyum itu hanya untukku?”
Apa ini maksudnya? Apa
Amar sedang menuangkan perasaannya? Atau hanya ingin membuat Alana tiudak
mencemaskan keadaannya?
Amar kembali meringis, ia
Nampak kesakitan.
“Sakit ya?”
Amar mengangguk, “Boleh
aku minta tolong untuk meniup keningku yang perih? Ah, tapi kalau kamu tidak
mau juga tidak apa-apa, lupakan saja!” Seru Amar tak berani menatap mata Alana.
“Bagaimana aku bisa
menolak, meniup kening orang yang terluka karena aku?”
Amar tersenyum, Alana
mulai meniup. Jarak wajah Alana dan Amar sangat dekat, bahkan Alana tak segan
mengusap-usap kening Amar, itu jelas membuat jantung Amar berdetak lebih cepat
dari biasanya, namun Amar sangat menikmati setiap sentuhan Alana. Andai bisa
selalu begini, jangankan terluka seperti sekarang, matipun ia rela, sungguh!
≈Ω◊Ω◊Ω◊Ω ≈
Note: mohon dimaklumi jika terdapat banyak kesalahan karena adegan demi adegan ini saya langsung tulis dari otak dan belum mengalami pengeditan.
No comments:
Post a Comment