Pages

Tuesday, 18 October 2011

Please Don't Leave Me Alone, Alana! #8



Alana menatap Amar yang terbaring tak berdaya. Karena dirinya Amar menderita, karena dirinya pula Amar kehilangan pekerjaannya. Entah apa yang harus Alana lakukan sekarang untuk Amar, Alana merasa terlalu jauh menyeret Amar kedalam masalahnya. Bahkan tidak hanya itu, karena dirinya pula hubungan Amar dan Arlonpun rusak. Alana sedih dan merasa bersalah, namun ia tak tahu apa yang harus ia lakukan,. Haruskah ia bertekuk lutut dihadapan Arlon supaya Arlon tak membawa-bawa Amar dalam masalah mereka? Ya, kalo memang itu bisa ia lakukan, ia akan lakukan.
Alana mencoba melepaskan tangan Amar yang sedari tadi menggenggam lengannya. Ia harus mencari titik, ya, titik untuk menyelesaikan semua ini. Ia tak ingin makin banyak orang terlibat dalam masalahnya. Ia tak ingin banyak orang menderita karenanya.
“Bisakah kamu tetap disini?” Tanya Amar dengan mata tertutup.
Alana merasa bersalah karena gerakan melepaskan tangan Amar itu mengganggu tidur Amar. Alana meminta maaf berkali-kali.
Amar tersenyum kemudian membuka matanya, ia sedikit meringis, jangankan menggerakan tubuh, menggerakan mata saja sakit sepertinya. Ini gara-gara Arlon yang dengan begitu tega membuat Amar begini. Alana yakin Amar tidak membalas karena Amar tak bisa melukai Arlon. Amar bukan tipikal orang yang ditampar kemudian balas menampar.
“Boleh aku minta kamu tetap disini?”
Aku? Baru kali ini Alana mendengar Arlon mengakuii dirinya sebagai Aku? Ini sedikit mengherankan. Tapi ah, apa salahnya?
Alana mengangguk. “Apa itu sakit? Ah, pasti sakit sekali ya?”
Amar menatap mata Alana, “Sehari-dua hari juga pasti membaik!”
Alana mengerutkan kening, “Gimana bisa lebam dan memar kayak gitu sembuk dalam 2 hari?”
“KAmu tau, senyum kamu adalah obat paling mujarab di dunia, jadi kamu harus tersenyum untukku supaya aku lekas sembuh!”
Alana tersenyum, “Gombal!”
Amar balas tersenyum, “Serius! Aku suka senyum kamu dan aku harap senyum itu hanya untukku?”
Apa ini maksudnya? Apa Amar sedang menuangkan perasaannya? Atau hanya ingin membuat Alana tiudak mencemaskan keadaannya?
Amar kembali meringis, ia Nampak kesakitan.
“Sakit ya?”
Amar mengangguk, “Boleh aku minta tolong untuk meniup keningku yang perih? Ah, tapi kalau kamu tidak mau juga tidak apa-apa, lupakan saja!” Seru Amar tak berani menatap mata Alana.
“Bagaimana aku bisa menolak, meniup kening orang yang terluka karena aku?”
Amar tersenyum, Alana mulai meniup. Jarak wajah Alana dan Amar sangat dekat, bahkan Alana tak segan mengusap-usap kening Amar, itu jelas membuat jantung Amar berdetak lebih cepat dari biasanya, namun Amar sangat menikmati setiap sentuhan Alana. Andai bisa selalu begini, jangankan terluka seperti sekarang, matipun ia rela, sungguh!

≈Ω◊Ω◊Ω◊Ω ≈


Note: mohon dimaklumi jika terdapat banyak kesalahan karena adegan demi adegan ini saya langsung tulis dari otak dan belum mengalami pengeditan.

No comments:

Post a Comment