Beberapa
hari terakhir ini Alana dan Amar berkeliling menyusuri kota Jakarta. Bukan,
bukan untuk bersenang-senang, bukan pula karena mereka tak ada pekerjaan. Mereka
melakukan itu justru karena mereka butuh pekerjaan dan sedang berusaha
mencarinya. Ya, setelah kejadian itu hidup masih harus terus berjalan. Dan hidup
terutama bagi Alana menjadi sangat tidak mudah, ya hidup tak semudah saat ia
bersama Arlon, dengan hanya satu senyuman yang ia berikan pada Arlon, ia bisa
mendapatkan apa yang ia mau. Namun kini semuanya sudah tak sama, ia harus
berjuang menghidupi dirinya, kedua orang tuanya, adiknya, anaknya dan
pembantunya seorang diri tanpa bantuan Arlon, ia memang tak yakin ia mampu
melakukannya, tapi ia sudah mengambil keputusan bahwa ia ingin lepas dari
Arlon, jadi ya inilah konsekuensinya. Mau-tidak
mau, suka-tidak suka ia harus belajar menghadapinya.
Ia amat
sangat kecewa karena Arlon yang ia anggap mengerti dirinya dan memahaminya,
satu-satunya orang yang ia anggap tak mungkin membuatnya terluka ternyata
menancapkan rasa sakit yang jauh lebih menyakitkan dari kesakitannya selama
ini. Alana tidak mau lagi bergantung pada orang yang mengaku sangat
mencintainya tapi dibelakang, ia dengan sangat tega mengkhianati Alana.
Hmmm,
setelah 11 tahun bersama lebih dari seorang pasangan kekasih, tidak mudah memang
berpisah begitu saja, entah karena cinta atau bukan yang jelas sekarang Alana
merasakan sakit luar biasa. Tapi ia berusaha menutupinya.
Alana
tersenyum ketika ingatannya kembali ke saat dimana dirinya pertama kali bertemu
Arlon, saat itu hari pertama Alana mengenakan seragam SMP dan keberuntungan
sama sekali tidak berpihak padanya, ia datang terlambat dan kena hukuman
membersihkan gudang sekolah bersama Arlon, namun karena Arlon terbatuk-batuk
dan tak terbiasa dengan debu, terpaksalah Alana yang menyelesaikan semua
pekerjaan yang harusnya dikerjakan berdua, sebagai permintaan maaf karena Arlon
tak bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik, Arlon mengajak Alana makan siang
bersama setelah pulang sekolah. Hari itulah, hari pertama Alana merasa hidupnya
seperti di negeri dongeng. Yap, makan enak, dilayani dan ditemani sosok pria
pujaan wanita pula. Segala sesuatunya menjadi sangat mudah setelah hari itu, ya,
bahkan Arlon melarangnya untuk kerja part time dan membelikan apa saja yang Alana
butuhkan, dengan syarat Alana tak boleh dekat dengan pria lain selain Arlon,
meski hanya sekedar mengobrol, ya, Arlon memprotect Alana, namun bagi Alana itu
adalah harga setimpal jika disbanding apa yang Arlon berikan lebih dari yang
Alana minta. Ya, ini simbiosis mutualisme, pikir Alana waktu itu. Dulu ia sadar
bahwa ia dekat dengan Arlon karena Arlon membuat hidupnya mudah, tapi sekarang,
ia tak tahu pasti, ia tak tahu pasti apa yang ia takutkan, entah ia takut
kehilangan uang Arlon atau ia telah mencintai Arlon dan takut kehilangannya. Ia
memang tak tahu apa yang ia takutkan, tapi sekarang semua itu tak penting, toh
semuanya sudah berakhir, ya, Alana dan Arlon tak lagi punya hubungan. Alana tak
mau lagi brergantung pada Arlon yang sebenarnya sejak dulu Alana tidak yakin
bahwa Arlon akan bisa jadi pasangan seumur hidup yang bisa ia ajak susah dan
senang juga tidak mengendalikannya.
Alana
mehhela nafas, ia menatap wajah Amar yang sedang berjalan tepat disampingnya,
masih ada beberapa lebam yang belum sembuh betul.
Sadar
dirinya sedang diperhatikan Amar jadi sedikit salah tingkah, ia membalas
tatapan Alana dengan tatapan pul;a, mata mereka bertemu, Amar maerasa bahagia
bisa tenggelam dalam labirin mata Alana, ia merasa benar-benar terhanyut, ada
rasa tenang merasuki seluruh tubuhnya tiba-tiba. “Ke… ke… kenapa Al?” serunya
gugup.
Alana
memegang pelipis Amar yang masih lebam, “Maaf ya, gara-gara Arlon kamu jadi
begini!”
Arlon
lagi… Arlon lagi… huuufffhh, meski Alana ada didekatnya, tapi ia tak pernah
melihat Amar. Jatuh cinta memang sesuatu yang tak bisa dimengerti. Amar sadar
ia tak akan mungkin bisa mendapatkan Alana tapi kadang ada hal seberapa
keraspun manusia mencoba, ia tak bisa dapatkan apa yang ia mau, tapi ia selalu
ingin terus mencoba sampai ia benanr-benar tak mampu lagi mencoba, dan seperti
itulah Amar sekarang, ia belum bisa menyerah, jadi ia akan terus mencoba.
Amar
tersenyum, “Arlon, bukan karena Arlon! Kalo mau Aku juga bisa ngelawan Arlon,
tapi ada kepuasan tersendiri saat Aku membiarkan Arlon memukulku begitu saja!”
“Kepuasan??!”
Alana mengerutkan kening
Amar
mengangguk kemudian memegang tangan Alana yang ada dipipinya, “Aku merasa
menang!”
Alana
melepaskan lengannya dari lengan Amar, Amar kecewa ternyata Alana lebih jauh
daripada yang ia bayangkan.
“Menang?
Menang apa maksudnya?”
Amar
mengacak halus rambut Alana, kemudian tersenyum, “Aku senang seperti ini! Meskipun
aku tau jalan kita untuk mendapatkan pekerjaan dipersulit Arlon, tapi aku
yakin, cepat atau lambat kita akan mendapatkan pekerjaan yang layak dan
semuanya akan baik-baik saja” Amar mengalihkan pembicaraan.
Baik-baik
saja? Ah, rasanya tidak, Alana tak yakin semuanya Akan baik-baik saja. Bagaimana
akan baik-baik saja, sedang sekarang hatinyapun sakit luar biasa, ada kerinduan
yang bercampur dengan kesedihan dan kekecewaan mengendap dalam relung batin
Alana. Mata Alana berkaca-kaca tapi ia tetap berusaha tersenyum, “Ya, Semuanya
akan baik-baik saja!”
≈Ω◊Ω◊Ω◊Ω
≈
Note: mohon dimaklumi jika terdapat banyak kesalahan karena adegan demi adegan ini saya langsung tulis dari otak dan belum mengalami pengeditan.
No comments:
Post a Comment