Pages

Monday, 24 October 2011

Please Don't Leave Me Alone, Alana! #10



Beberapa hari terakhir ini Alana dan Amar berkeliling menyusuri kota Jakarta. Bukan, bukan untuk bersenang-senang, bukan pula karena mereka tak ada pekerjaan. Mereka melakukan itu justru karena mereka butuh pekerjaan dan sedang berusaha mencarinya. Ya, setelah kejadian itu hidup masih harus terus berjalan. Dan hidup terutama bagi Alana menjadi sangat tidak mudah, ya hidup tak semudah saat ia bersama Arlon, dengan hanya satu senyuman yang ia berikan pada Arlon, ia bisa mendapatkan apa yang ia mau. Namun kini semuanya sudah tak sama, ia harus berjuang menghidupi dirinya, kedua orang tuanya, adiknya, anaknya dan pembantunya seorang diri tanpa bantuan Arlon, ia memang tak yakin ia mampu melakukannya, tapi ia sudah mengambil keputusan bahwa ia ingin lepas dari Arlon, jadi ya inilah konsekuensinya.  Mau-tidak mau, suka-tidak suka ia harus belajar menghadapinya.
Ia amat sangat kecewa karena Arlon yang ia anggap mengerti dirinya dan memahaminya, satu-satunya orang yang ia anggap tak mungkin membuatnya terluka ternyata menancapkan rasa sakit yang jauh lebih menyakitkan dari kesakitannya selama ini. Alana tidak mau lagi bergantung pada orang yang mengaku sangat mencintainya tapi dibelakang, ia dengan sangat tega mengkhianati Alana.
Hmmm, setelah 11 tahun bersama lebih dari seorang pasangan kekasih, tidak mudah memang berpisah begitu saja, entah karena cinta atau bukan yang jelas sekarang Alana merasakan sakit luar biasa. Tapi ia berusaha menutupinya.
Alana tersenyum ketika ingatannya kembali ke saat dimana dirinya pertama kali bertemu Arlon, saat itu hari pertama Alana mengenakan seragam SMP dan keberuntungan sama sekali tidak berpihak padanya, ia datang terlambat dan kena hukuman membersihkan gudang sekolah bersama Arlon, namun karena Arlon terbatuk-batuk dan tak terbiasa dengan debu, terpaksalah Alana yang menyelesaikan semua pekerjaan yang harusnya dikerjakan berdua, sebagai permintaan maaf karena Arlon tak bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik, Arlon mengajak Alana makan siang bersama setelah pulang sekolah. Hari itulah, hari pertama Alana merasa hidupnya seperti di negeri dongeng. Yap, makan enak, dilayani dan ditemani sosok pria pujaan wanita pula. Segala sesuatunya menjadi sangat mudah setelah hari itu, ya, bahkan Arlon melarangnya untuk kerja part time dan membelikan apa saja yang Alana butuhkan, dengan syarat Alana tak boleh dekat dengan pria lain selain Arlon, meski hanya sekedar mengobrol, ya, Arlon memprotect Alana, namun bagi Alana itu adalah harga setimpal jika disbanding apa yang Arlon berikan lebih dari yang Alana minta. Ya, ini simbiosis mutualisme, pikir Alana waktu itu. Dulu ia sadar bahwa ia dekat dengan Arlon karena Arlon membuat hidupnya mudah, tapi sekarang, ia tak tahu pasti, ia tak tahu pasti apa yang ia takutkan, entah ia takut kehilangan uang Arlon atau ia telah mencintai Arlon dan takut kehilangannya. Ia memang tak tahu apa yang ia takutkan, tapi sekarang semua itu tak penting, toh semuanya sudah berakhir, ya, Alana dan Arlon tak lagi punya hubungan. Alana tak mau lagi brergantung pada Arlon yang sebenarnya sejak dulu Alana tidak yakin bahwa Arlon akan bisa jadi pasangan seumur hidup yang bisa ia ajak susah dan senang juga tidak mengendalikannya.
Alana mehhela nafas, ia menatap wajah Amar yang sedang berjalan tepat disampingnya, masih ada beberapa lebam yang belum sembuh betul.
Sadar dirinya sedang diperhatikan Amar jadi sedikit salah tingkah, ia membalas tatapan Alana dengan tatapan pul;a, mata mereka bertemu, Amar maerasa bahagia bisa tenggelam dalam labirin mata Alana, ia merasa benar-benar terhanyut, ada rasa tenang merasuki seluruh tubuhnya tiba-tiba. “Ke… ke… kenapa Al?” serunya gugup.
Alana memegang pelipis Amar yang masih lebam, “Maaf ya, gara-gara Arlon kamu jadi begini!”
Arlon lagi… Arlon lagi… huuufffhh, meski Alana ada didekatnya, tapi ia tak pernah melihat Amar. Jatuh cinta memang sesuatu yang tak bisa dimengerti. Amar sadar ia tak akan mungkin bisa mendapatkan Alana tapi kadang ada hal seberapa keraspun manusia mencoba, ia tak bisa dapatkan apa yang ia mau, tapi ia selalu ingin terus mencoba sampai ia benanr-benar tak mampu lagi mencoba, dan seperti itulah Amar sekarang, ia belum bisa menyerah, jadi ia akan terus mencoba.
Amar tersenyum, “Arlon, bukan karena Arlon! Kalo mau Aku juga bisa ngelawan Arlon, tapi ada kepuasan tersendiri saat Aku membiarkan Arlon memukulku begitu saja!”
“Kepuasan??!” Alana mengerutkan kening
Amar mengangguk kemudian memegang tangan Alana yang ada dipipinya, “Aku merasa menang!”
Alana melepaskan lengannya dari lengan Amar, Amar kecewa ternyata Alana lebih jauh daripada yang ia bayangkan.
“Menang? Menang apa maksudnya?”
Amar mengacak halus rambut Alana, kemudian tersenyum, “Aku senang seperti ini! Meskipun aku tau jalan kita untuk mendapatkan pekerjaan dipersulit Arlon, tapi aku yakin, cepat atau lambat kita akan mendapatkan pekerjaan yang layak dan semuanya akan baik-baik saja” Amar mengalihkan pembicaraan.
Baik-baik saja? Ah, rasanya tidak, Alana tak yakin semuanya Akan baik-baik saja. Bagaimana akan baik-baik saja, sedang sekarang hatinyapun sakit luar biasa, ada kerinduan yang bercampur dengan kesedihan dan kekecewaan mengendap dalam relung batin Alana. Mata Alana berkaca-kaca tapi ia tetap berusaha tersenyum, “Ya, Semuanya akan baik-baik saja!”

≈Ω◊Ω◊Ω◊Ω ≈
Note: mohon dimaklumi jika terdapat banyak kesalahan karena adegan demi adegan ini saya langsung tulis dari otak dan belum mengalami pengeditan.

No comments:

Post a Comment