Alana
berjalan tergesa-gesa setelah turun dari taksi. Ia benar-benar panik, beberapa
menit yang lalu ia mendapatkan SMS dari adiknya bahwa jantung ibunya kumat
lagi.
“Kak!”
Panggil Adit yang sedang berdiri diluar pagar rumah mereka.
“Adit?
Kenapa kamu disini? Ibu, bagaimana keadaan ibu sekarang?”
“Kak,
ibu tidak sakit. Kak Arlon ada disini, lebih baik kakak pergi sekarang!”
“Arlon?”
Alana menatap pintu rumah mereka didepan rumah itu ada sebuah mobil yang sangat
familiar baginya. Ya, mobil
Adit
mengangguk, “Kak Arlon menggunakan kelemahan ibu untuk membuat kakak kembali
kesisinya, lebih baik kakak pergi sekarang!”
Air
mata Alana menetes. Alana benar-benar sedih, bukan karena ada Arlon. Tapi karena
ibunya, kenapa ibu begitu tega membohonginya? Kenapa ibu tak pernah mau
mengerti perasaannya? Kenapa ibu tak pernah ingin tahu masalahnya? kenapa hanya
uang, uang dan uang?
“Kak!”
Adit mendekap kakaknya, berusaha member kehangatan dan ketenangan, “Pergilah
dan berbahagialah!”
Alana
menghela nafas, ia kemudian menghapus air matanya, “Kenapa harus pergi? Jika yang
ibu mau kakak kembali pada Arlon, kakak akan lakukan!”
“Kak!”
Adit memegang lengan kakaknya. “Aku gak yakin kakak akan bahagia jika kakak
dengan kak Arlon!”
Alana
tersenyum, “Kebahagiaan kakak adalah melihat kalian bahagia!”
“Kak,
please jangan masuk!”
Alana
memegang pipi Adit dan menatap matanya penuh kasih sayang, “Tugas kamu Cuma belajar
dan buat kakak bangga!”
Serunya,
kemudian berjalan memasuki rumah.
“Sayang,
liat! Nak Arlon memberikan ibu kalung ini! Oh iya, dia juga membelikan kita mobil,
kamu lihat mobil mewah didepan itu untuk kita!” seru sang ibu antusias sambil memegang
kalungnya.
Alana
benar-benar kesal sang ibu menyambutnya dengan kata-kata seperti itu. Ia berjalan
kemudian berhenti tepat didepan Arlon. Alana menatap Arlon dengan tatapan
wanita dewasa yang telah matang, matanyanya memang agak berkaca-kaca, tapi ia
menatap tanpa keraguan.
“Apa
yang kamu mau sebenarnya?”
Arlon
tersenyum, “Seharusnya tanpa bertanya juga kamu tau, sayang!” Arlon mengusap
pipi Alana dengan jari telunjuknya.
“Apa
yang akan aku dapatkan jika aku menuruti kemauan kamu?”. Tantang Alana.
“Aku
akan menjamin keselamatan dan kehidupan layak untuk Amar, aku akan berikan keluarga
kamu mobil, uang yang banyak dan aku akan menuruti semua mau kamu, bagaimana?”
Arlon tersenyum.
Air
mata Alana menetes, ia buru-buru menghapusnya. “Beri aku waktu 3 hari untuk
berfikir!”
Arlon
kembali tersenyum kemudian mengecup Alana, “Sudah kubilang, kamu tak akan bisa
lepas dari aku sayang! Kamu milik aku selamanya!”
Alana
menatap Arlon dengan tatapan penuh kebencian. Ingin rasanya saat itu juga Alana
meludahi Arlon. Tapi ah, tak ada gunanya dan tak akan merubah apapun.
Andai
saja hidup Amar tidak dipersulit Arlon, andai saja ibunya tidak mata duitan,
andai saja ia tidak mempunyai beban yang ia tanggung, ia tak ingin kembali
kepada Arlon.
Bersama
Arlon hanya membuat Alana lemah dan kehilangan harga dirinya.
≈Ω◊Ω◊Ω◊Ω ≈
“Tadi
Nak Arlon titip ini ke ibu!” Suara ibu membuyarkan lamunan Alana, Alana menorah
menatap sebuah handphone yang yang ada digenggaman sang ibu. “Dia pesen kamu
gak boleh lagi mengabaikan dia, ibu harap juga begitu, dia itu baik sama kamu
dan ibu yakin dia bisa membuat kamu bahagia!”
“Apa
ibu rela anaknya terus-terusan kumpul kebo?” Alana menatap mata ibunya tajam, “Ah,
pasti ibu setuju-setuju saja, yak an?” Alana tergugu “Toh yang ada dipikiran
ibu itu uang, bukan aku!”
Plllaaaakkkk… sang ibu menampar Alana “Alana!” bentaknya
kemudian berlalu meninggalkan Alana begitu saja.
Alana
memegang pipinya yang terkena tamparan sambil memandang ke pintu kamarnya, “Yang
aku butuh pelukan bu, bukan tamparan!” Air mata Alana menetes. Ia menangis
penuh rasa sakit.
≈Ω◊Ω◊Ω◊Ω ≈
Note: mohon dimaklumi jika terdapat banyak kesalahan karena adegan demi adegan ini saya langsung tulis dari otak dan belum mengalami pengeditan.
No comments:
Post a Comment