Pages

Friday 7 October 2011

Please Don't Leave Me Alone, Alana! #6


Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian dikamar hotel itu, Namun sampai saat ini Arlon belum juga menghubunginya untuk sekedar member kabar, Ia juga tak masuk kantor. Dan ini untuk pertama kalinya Arlon bertindak seperti ini sejak sebelas tahun yang lalu. Alana benar-benar merasa bersalah, ya, harusnya Alana juga mengerti perasaan Arlon, harusnya Alana juga mengerti Arlon juga tertekan dengan kejadian ini, harusnya Alana menenangkan perasaan Arlon dan melayaninya sepenuh hati. Ah, Alana menyesal. Dan bodohnya, penyesalan itu selalu dating disaat semuanya sudah menjadi buruk.
Alana mencoba menghubungi Arlon, namun tak pernah ada jawaban, Alanapun ratusan kali mengsms Arlon, namun tak pernah ada balasan. Alana gusar. Benar-benar gusar.
Alana masuk keruangan Amar. Amar adalah orang kepercayaan Arlon. Tak ada satu halpun yang Arlon sembunyikan dari Amar. Bahkan Arlon tak segan mengajak Amar kemanapun ia pergi. Alana lebih sering pergi bertiga dengan Arlon dan Amar, dibanding hanya berdua dengan Arlon.
Alana meniup rambut Amar yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Dan saat itulah Amar baru menyadari kedatangan Alana.
Alana cemberut.
“Kenapa kok mukanya ditekuk kayak gitu sih, cantiknya kan jadi berkurang!” Gurau Amar.
“Kapan sih kamu gak sibuk? Tiap hari aku liat kamu sibuk mulu, apa gak bosen?” Alana berusaha mengalihkan pembicaraan.
Alana duduk, tepat didepan Amar namun terhalang oleh meja. Amar yang merasa terganggu dengan tatapan Alana menghentikan pekerjaannya kemudian menutup laptopnya.
“Kamu masuk keruangan saya bukan hanya untuk melihat saya kerja kan?”
Alana tersenyum, dengan senyumnya Alana dengan mudah menghancurkan diding Amar. Melihat senyumnya, menatap wajahnya, bersamanya membuat Amar bahagia. ya, meskipun Amar sadar, Alana bukan untuknya. Mengharapkan Alana hanya membuang waktu. Namun ia tak bisa berhenti, ia lebih memilih kehilangan banyak waktunya daripada harus menghentikan angannya, ya, menghentikan angannya untuk bersama Alana, menjadi bagian hidup Alana dan menjadi satu-satunya orang yang membuat Alana bahagia.
“Heiii….!!!” Alana memegang lengan Amar, “Kok bengong sih?” dan itu sungguh membuat Amar salah tingkah.
“Hmmmm, itu… anu… hmmmm, ada apa?”
Alana tersenyum lagi, ingin rasanya Amar mengungkapkan isi hatinya, kemudian memeluk Alana erat. Namun ia sadar siapa dirinya dan ia tak punya keberanian untuk itu. Alana adalah peremuan bosnya, dan bosnya mampu memberikan apapun yang Alana minta? Sedang ia? Siapa dia? Dia tak punya apa-apa. Dia tak bisa bersaing dengan bosnya. Dan ia cukup sadar diri. Rasanya lebih baik memendam perasaannya didalam hati daripada harus menghadapi kenyataan ditolak mentah-mentah.
Amar membenarkan letak kacamatanya, ia menghela nafas, mencoba mengontrol perasaannya. Wajahnya terlihat amat sangat serius.
Alana mengerutkan kening, “Kenapa? kok kayaknya tegang gitu? Kamu terlalu sibuk dengan kerjaan sih, so, gak terbiasa berhadapan dengan wanita cantik seperti aku kan?” Alana mencoba mencairkan suasana.
Bukannya cair, Amar malah makin tegang. Baru kali ini ia bisa menatap wajah Alana tanpa baying-bayang Arlon. Sungguh Alana amat sangat cantik.
“Aku ganggu ya? Hmmm, kalo ganggu aku keluar deh!”
Amar tersenyum, lesung pipinya membuat ia terlihat sangat manis. Ia menggeleng, “Nggak kok, sama sekali gak ganggu!” serunya berusaha bertindak senormal mungkin.
“Sumpah ya, kamu manis kalo senyum gitu! Lain kali jangan terlalu irit senyum kenapa!”
Ahhhhhh, Amar serasa terbang ke awang-awang, pujian Alana benar-benar membuat hatinya berbunga-bunga.
“Bisa aja!” Amar tak bisa menahan senyumnya lagi. “Kamu dating kesini bukan Cuma buat muji saya kan?”
Alana tersenyum untuk kesekian kalinya, “Arlon, Mar!”
“Arlon? Kenapa selalu ada Arlon!” Bathin Amar. Raut wajahnya berubah masam. “Arlon? Kenapa dengan Arlon!” Tanya Amar berusaha sebisa mungkin menyimpan kecemburuannya.
“Arlon marah. Arlon benar-benar marah. Dia gak masuk kantor dan Dia sama sekali gak ngabarin aku! Dan kamu tau kan ini bener-bener bukan Arlon?”
“Terus?”
“Terus?” Alana mengulang perkataan Amar barusan dengan intonasi yang sama.
“Terus apa hubungannya dengan aku?”
“Kamu orang kepercayaannya kan? Kamu tau kan keberadaannya sekarang!”
“Kalau saya tau?”
“Bawa aku menemuinya, aku mau minta maaf, harusnya aku ngertiin dia, dia juga sama tertekannya dengan aku!”
“KAlo saya tidak mau?”
“Please Mar, Aku mohon!”Alana memelas, dan amar sama sekali tidak tega melihatnya. Namun ia pura-pura tak iba.
“Apa kamu pikir Arlon sedang memikirkan kamu, Arlon sedang sedih dan tenggelam dalam rasa sakit karena mencintai kamu?”
Alana mengangguk, Air matanya menetes.
Amar memberanikan diri menghapus air mata Alana, Awalnya Alana sempat sedikit kaget, tapi dia membiarkannya.
Ini pertama kalinya Amar menyentuh wajah Alana, wanita yang beberapa bulan ini dicintainya. Jika ditanya sejak kapan Amar mencintai Alana, Amar tak tahu pasti, yang jelas sejak pertama kali Amar melihat Alana, Amar merasa Alana wanita yang berbeda, dan perasaan Amar semakin hari semakin dalam sampai suatu hari ia menyadari bahwa ia mencintai Alana, pacar bosnya.
“Kami ada diposisi yang sama!”
“Kamu salah besar jika kamu berfikiran seperti itu!” seru Amar sambil terus menghapus air mata Alana.
Andai saja bisa, ia ingin dunia berhenti sekarang. Biar begini selamanya..
“Arlan tidak sebaik dan sesayang yang kamu bayangkan!”
Alana mengerutkan kening lalu menatap Amar tajam. Namun tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, tatapan mata Alana ingin Amar melanjutkan ceritanya.
Seolah mengerti arti tatapan itu Amar mengambil beberapa lembar foto dari lacinya kemudian membeperlihatkannya pada Alana. Melihat siapa yang ada difoto itu Alana sempat terguncang, ya, ia ingin tak percaya pada apa yang dilihatnya, ia ingin ini hanya mimpi, tak nyata. Ada Arlon disemua fotro itu, dan yang membuat Alana kaget, disana Alon selalu terlihat bermesraan bersama seorang wanita yang berbeda-beda ditiap fotonya. Dan tak ada satu foto wanita itu yang mirip dirinya.
Alana tak tahu mesti apa dan harus bagaimana. Tubuhnya bergetar, antara gugup dan kaget.
“Kamu tau kan akhir dari kemesraan itu?” Amar menghela nafas. “Arlon tidak benar-benar mencintai kamu!”
Damn, kata-kata Amar barusan seperti petir yang tiba-tiba menyambarnya.
Amat sangat menyakitkan.
Bulir-bulir air mata kembali menetes. Alana menangis. Ia menjerit didalam hatinya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa seseorang yang ia anggap satu-satunya orang yang mengertinya, menyakitinya begitu dalam? Bahkan rasa sakitnya lebih dalam jika disbanding rasa sakit-rasa sakit yang selama ini dialaminya.
Tapi… Alana merasa tak punya waktu untuk sedih. Ia menghapus air matanya. Ia mengangkat wajahnya, menghela nafas kemudian berusaha menegarkan dirinya.
Dadanya sakit, ia tak menyangka Arlon yang ia kenal sangat mencintainya bisa tega menyakitinya seperti ini.
“Maaf Alana!” seru Amar penuh rasa bersalah. “Aku Cuma tidak ingin kamu terbuai dan ketika kamu sadar yang kamu punya hanya harapan palsu!”
Air mata Alana jatuh lagi, Alana menghapusnya lagi, tak tahu malu, air matanya jatuh lagi, kembali Alana menghapusnya. Dan begitu seterusnya.
Amar benar-benar iba melihat Alana yang tampak begitu menyedihkan. Ia bangun dari tempat duduknya “Maaf!” serunya kemudian memeluk Alana, mencoba memberi Alana kehangatan. Meyakinkan Alana bahwa ia tidak sendirian menghadapi kenyataan yang tidak Adil ini “Menangislah, jika kamu merasa tidak kuat menghadapi semua ini. Bersikap pura-pura tegar hanya akan menambah beban kamu!”
Alana menyenderkan wajahnya ke bahu Amar. Ia tak bisa lagi bertindak pura-pura kuat. Iapun menumpakan segalanya dibahu Amar, air matanya, kesedihannya, kesakitannya, bebannya, semuanya.

≈Ω◊Ω◊Ω◊Ω ≈

Note: mohon dimaklumi jika terdapat banyak kesalahan karena adegan demi adegan ini saya langsung tulis dari otak dan belum mengalami pengeditan.

No comments:

Post a Comment