Sudah beberapa hari
berlalu sejak kejadian dikamar hotel itu, Namun sampai saat ini Arlon belum
juga menghubunginya untuk sekedar member kabar, Ia juga tak masuk kantor. Dan
ini untuk pertama kalinya Arlon bertindak seperti ini sejak sebelas tahun yang
lalu. Alana benar-benar merasa bersalah, ya, harusnya Alana juga mengerti
perasaan Arlon, harusnya Alana juga mengerti Arlon juga tertekan dengan
kejadian ini, harusnya Alana menenangkan perasaan Arlon dan melayaninya sepenuh
hati. Ah, Alana menyesal. Dan bodohnya, penyesalan itu selalu dating disaat
semuanya sudah menjadi buruk.
Alana mencoba menghubungi
Arlon, namun tak pernah ada jawaban, Alanapun ratusan kali mengsms Arlon, namun
tak pernah ada balasan. Alana gusar. Benar-benar gusar.
Alana masuk keruangan
Amar. Amar adalah orang kepercayaan Arlon. Tak ada satu halpun yang Arlon
sembunyikan dari Amar. Bahkan Arlon tak segan mengajak Amar kemanapun ia pergi.
Alana lebih sering pergi bertiga dengan Arlon dan Amar, dibanding hanya berdua
dengan Arlon.
Alana meniup rambut Amar
yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Dan saat itulah Amar baru menyadari
kedatangan Alana.
Alana cemberut.
“Kenapa kok mukanya
ditekuk kayak gitu sih, cantiknya kan jadi berkurang!” Gurau Amar.
“Kapan sih kamu gak
sibuk? Tiap hari aku liat kamu sibuk mulu, apa gak bosen?” Alana berusaha
mengalihkan pembicaraan.
Alana duduk, tepat
didepan Amar namun terhalang oleh meja. Amar yang merasa terganggu dengan
tatapan Alana menghentikan pekerjaannya kemudian menutup laptopnya.
“Kamu masuk keruangan
saya bukan hanya untuk melihat saya kerja kan?”
Alana tersenyum, dengan
senyumnya Alana dengan mudah menghancurkan diding Amar. Melihat senyumnya,
menatap wajahnya, bersamanya membuat Amar bahagia. ya, meskipun Amar sadar,
Alana bukan untuknya. Mengharapkan Alana hanya membuang waktu. Namun ia tak
bisa berhenti, ia lebih memilih kehilangan banyak waktunya daripada harus
menghentikan angannya, ya, menghentikan angannya untuk bersama Alana, menjadi
bagian hidup Alana dan menjadi satu-satunya orang yang membuat Alana bahagia.
“Heiii….!!!” Alana
memegang lengan Amar, “Kok bengong sih?” dan itu sungguh membuat Amar salah
tingkah.
“Hmmmm, itu… anu… hmmmm,
ada apa?”
Alana tersenyum lagi, ingin
rasanya Amar mengungkapkan isi hatinya, kemudian memeluk Alana erat. Namun ia
sadar siapa dirinya dan ia tak punya keberanian untuk itu. Alana adalah
peremuan bosnya, dan bosnya mampu memberikan apapun yang Alana minta? Sedang
ia? Siapa dia? Dia tak punya apa-apa. Dia tak bisa bersaing dengan bosnya. Dan ia
cukup sadar diri. Rasanya lebih baik memendam perasaannya didalam hati daripada
harus menghadapi kenyataan ditolak mentah-mentah.
Amar membenarkan letak
kacamatanya, ia menghela nafas, mencoba mengontrol perasaannya. Wajahnya
terlihat amat sangat serius.
Alana mengerutkan kening,
“Kenapa? kok kayaknya tegang gitu? Kamu terlalu sibuk dengan kerjaan sih, so,
gak terbiasa berhadapan dengan wanita cantik seperti aku kan?” Alana mencoba
mencairkan suasana.
Bukannya cair, Amar malah
makin tegang. Baru kali ini ia bisa menatap wajah Alana tanpa baying-bayang
Arlon. Sungguh Alana amat sangat cantik.
“Aku ganggu ya? Hmmm,
kalo ganggu aku keluar deh!”
Amar tersenyum, lesung
pipinya membuat ia terlihat sangat manis. Ia menggeleng, “Nggak kok, sama
sekali gak ganggu!” serunya berusaha bertindak senormal mungkin.
“Sumpah ya, kamu manis
kalo senyum gitu! Lain kali jangan terlalu irit senyum kenapa!”
Ahhhhhh, Amar serasa
terbang ke awang-awang, pujian Alana benar-benar membuat hatinya
berbunga-bunga.
“Bisa aja!” Amar tak bisa
menahan senyumnya lagi. “Kamu dating kesini bukan Cuma buat muji saya kan?”
Alana tersenyum untuk
kesekian kalinya, “Arlon, Mar!”
“Arlon? Kenapa selalu ada
Arlon!” Bathin Amar. Raut wajahnya berubah masam. “Arlon? Kenapa dengan Arlon!”
Tanya Amar berusaha sebisa mungkin menyimpan kecemburuannya.
“Arlon marah. Arlon
benar-benar marah. Dia gak masuk kantor dan Dia sama sekali gak ngabarin aku!
Dan kamu tau kan ini bener-bener bukan Arlon?”
“Terus?”
“Terus?” Alana mengulang
perkataan Amar barusan dengan intonasi yang sama.
“Terus apa hubungannya
dengan aku?”
“Kamu orang
kepercayaannya kan? Kamu tau kan keberadaannya sekarang!”
“Kalau saya tau?”
“Bawa aku menemuinya, aku
mau minta maaf, harusnya aku ngertiin dia, dia juga sama tertekannya dengan
aku!”
“KAlo saya tidak mau?”
“Please Mar, Aku
mohon!”Alana memelas, dan amar sama sekali tidak tega melihatnya. Namun ia
pura-pura tak iba.
“Apa kamu pikir Arlon
sedang memikirkan kamu, Arlon sedang sedih dan tenggelam dalam rasa sakit
karena mencintai kamu?”
Alana mengangguk, Air
matanya menetes.
Amar memberanikan diri
menghapus air mata Alana, Awalnya Alana sempat sedikit kaget, tapi dia
membiarkannya.
Ini pertama kalinya Amar
menyentuh wajah Alana, wanita yang beberapa bulan ini dicintainya. Jika ditanya
sejak kapan Amar mencintai Alana, Amar tak tahu pasti, yang jelas sejak pertama
kali Amar melihat Alana, Amar merasa Alana wanita yang berbeda, dan perasaan
Amar semakin hari semakin dalam sampai suatu hari ia menyadari bahwa ia
mencintai Alana, pacar bosnya.
“Kami ada diposisi yang
sama!”
“Kamu salah besar jika
kamu berfikiran seperti itu!” seru Amar sambil terus menghapus air mata Alana.
Andai saja bisa, ia ingin
dunia berhenti sekarang. Biar begini selamanya..
“Arlan tidak sebaik dan
sesayang yang kamu bayangkan!”
Alana mengerutkan kening
lalu menatap Amar tajam. Namun tak ada sepatah katapun yang keluar dari
mulutnya, tatapan mata Alana ingin Amar melanjutkan ceritanya.
Seolah mengerti arti
tatapan itu Amar mengambil beberapa lembar foto dari lacinya kemudian
membeperlihatkannya pada Alana. Melihat siapa yang ada difoto itu Alana sempat
terguncang, ya, ia ingin tak percaya pada apa yang dilihatnya, ia ingin ini
hanya mimpi, tak nyata. Ada Arlon disemua fotro itu, dan yang membuat Alana
kaget, disana Alon selalu terlihat bermesraan bersama seorang wanita yang
berbeda-beda ditiap fotonya. Dan tak ada satu foto wanita itu yang mirip
dirinya.
Alana tak tahu mesti apa
dan harus bagaimana. Tubuhnya bergetar, antara gugup dan kaget.
“Kamu tau kan akhir dari
kemesraan itu?” Amar menghela nafas. “Arlon tidak benar-benar mencintai kamu!”
Damn, kata-kata Amar
barusan seperti petir yang tiba-tiba menyambarnya.
Amat sangat menyakitkan.
Bulir-bulir air mata
kembali menetes. Alana menangis. Ia menjerit didalam hatinya. Bagaimana bisa? Bagaimana
bisa seseorang yang ia anggap satu-satunya orang yang mengertinya, menyakitinya
begitu dalam? Bahkan rasa sakitnya lebih dalam jika disbanding rasa sakit-rasa
sakit yang selama ini dialaminya.
Tapi… Alana merasa tak
punya waktu untuk sedih. Ia menghapus air matanya. Ia mengangkat wajahnya,
menghela nafas kemudian berusaha menegarkan dirinya.
Dadanya sakit, ia tak
menyangka Arlon yang ia kenal sangat mencintainya bisa tega menyakitinya
seperti ini.
“Maaf Alana!” seru Amar
penuh rasa bersalah. “Aku Cuma tidak ingin kamu terbuai dan ketika kamu sadar
yang kamu punya hanya harapan palsu!”
Air mata Alana jatuh
lagi, Alana menghapusnya lagi, tak tahu malu, air matanya jatuh lagi, kembali
Alana menghapusnya. Dan begitu seterusnya.
Amar benar-benar iba
melihat Alana yang tampak begitu menyedihkan. Ia bangun dari tempat duduknya “Maaf!”
serunya kemudian memeluk Alana, mencoba memberi Alana kehangatan. Meyakinkan Alana
bahwa ia tidak sendirian menghadapi kenyataan yang tidak Adil ini “Menangislah,
jika kamu merasa tidak kuat menghadapi semua ini. Bersikap pura-pura tegar
hanya akan menambah beban kamu!”
Alana menyenderkan
wajahnya ke bahu Amar. Ia tak bisa lagi bertindak pura-pura kuat. Iapun menumpakan
segalanya dibahu Amar, air matanya, kesedihannya, kesakitannya, bebannya,
semuanya.
≈Ω◊Ω◊Ω◊Ω ≈
Note: mohon dimaklumi jika terdapat banyak kesalahan karena adegan demi adegan ini saya langsung tulis dari otak dan belum mengalami pengeditan.
No comments:
Post a Comment