Pages

Tuesday, 27 September 2011

Please Don't Leave Me Alone, Alana! #3



Ketakutan itu adalah satu-satunya yang akan selalu tertinggal dalam ingatan seseorang, selamanya. Dan itu yang Alana takutkan. Ia takut, ia tak bisa mengendalikan ketakutan-ketakutannya lagi. Jadi, sebelum ketakutan-ketakutan itu menghantui dan bertambah makin banyak, Alana ingin menghentikan semuanya. Namun karena Alana sudah sejauh ini, Alana tak bisa kembali ketempat dimana semua ketakutannya berawal. Yang ia bisa lakukan sekarang adalah mengentikan ketakutannya dan menjalani hidupnya lebih baik.
Ia tak bisa bertindak pura-pura kuat dan pura-pura baik terus menerus.  Ada saat dimana sekeras apapun ia mencoba, ia tak bisa selalu mendapatkan apa yang ia mau. Ya, meskipun rasanya sakit tapi ia yakin ini akan jauh lebih baik, karena Alana merasa jika ia tak menghentikan sekarang, ia akan kehilangan keberaniannya selamanya.
Untuk hidup lebih baik ia rela kehilangan segalanya termasuk Arlon. Arlon yang selalu menjaganya, menghawatirkannya dan mencintainya selama 11 tahun ini.
“Alana memutuskan berpisah dengan Arlon dan kemungkinan Alana tidak bisa membiayai kebutuhan kalian lagi!” Jelas Alana pada Ayah, Ibu dan Adiknya ketika mereka sedang makan malam.
“Kenapa? bukannya Arlon itu sayang banget sama kamu? Kamu ini bodoh, sudah jelas-jelas Arlon itu tidak bisa lepas dari kamu!” Tanya ibunya tanpa mau tau perasaan Alana. Ya, sepertinya ibunya lebih cinta uang ketimbang Alana sendiri.
“Maaf bu, tapi ini sudah jadi keputusan Alana, Alana tidak mau terus-terusan berlindung sama Arlon. Alana nggak mau terus-terusan merepotkan Arlon!".
“Merepotkan?” wanita setengah baya bertubuh gemuk itu tertawa “Dia tidak akan merasa direpotkan selama itu untuk kebutuhan kamu!”
Alana menitikan air mata. Ia benci kenyataan bahwa ibunya tak mengerti perasaannya. Ia benci hidup miskin. Ya, kemiskinan yang membuatnya hidup seperti ini. Kemiskinan yang membuat ia tak bisa merasakan masa-masa remaja yang harusnya ia nikmati, kemiskinan pulalah yang membuatnya mencintai Arlon.
“Mami Arlon tidak menyetujui hubungan kita, dan Alana tidak mau menjalin hubungan tanpa restunya!”
“Jangan munafik! Yang kamu butuhkan didunia ini uang bukan harga diri! Arlon tidak bisa lepas dari kamu, manfaatkan dia. Jangankan kehilangan ibunya, ibu yakin kehilangan nyawanyapun ia rela” kata-kata ibunya begitu menancap.
Alana merasa makin sakit.
Brrrraaaaakkkkkkkkk……
Ayah Alana menggebrak meja. Ibunya yang tadi terlihat angkuh kini menunduk ketakutan. “Lakukan apa yang mau kamu lakukan!” Seru Ayahnya yang kemudian bangkit dari tempat duduknya. Ia berniat meninggalkan rumah.
Ayahnya, ah, Alana tidak tahu betul sifat ayahnya. disaat-saat tertentu, meski tak saling bicara, Ayahnya dapat mengerti perasaannya. namun disaat lain ia melihat ayahnya yang berbeda, jangankan mengerti Alana, cara tersenyum pada Alana pun kadang ia melupakannya.
“Ayah!” Langkahnya terhenti ketika Alana memanggilnya. Ia menatap putri sulungnya.
“Jangan judi lagi!” Alana menatap mata ayahnya penuh harapan.
Tak ada sepatahkatapun keluar dari mulut sang ayah, namun mata Ayah Alana menyiratkan penyesalan, penyesalan yang tak bisa tergambarkan dengan mudah.
Ayah Alana melanjutkan langkahnya dan pergi meninggalkan rumah.
Langkah Ayah Alana terhenti ketika ia menyadari posisinya telah jauh dari dumah.
Iapun menjerit, menangis, meluapkan emosinya… “Alana, maafkan ayah nak! Ayah memang ayah tak berguna!” Ayah alana memukul-mukul tubuhnya “Ayah tak berguna… hikkkksssss… hiksssss…!” serunya putus asa. Amat sangat putus asa.

≈Ω◊Ω◊Ω◊Ω ≈ 

No comments:

Post a Comment