Arlon menganggap dirinya selalu mengerti Alana.
Tapi saat ini, saat ia menghadapi situasi seperti ini. Arlon tiba-tiba
menyadari bahwa ia tidak benar-benar memahami Alana. Ya, ada banyak hal yang ia
tidak mengerti dari Alana dan itu membuatnya benar-benar gelisah.
Arlon berjalan sekeenaknya menyusuri koridor hotel.
Kepalanya sakit ketika ia memikirkan Alana.
Hawa semakin dingin, beberapa kali ia merapatkan
jasnya.
Saat ia melihat Alana merasa sedih, iapun merasa
sedih juga. Namun, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ini terlalu sulit
untuknya. Ia benar-benar takut jika Alana meninggalkannya begitu saja, sedang
tidak menatap wajah Alana sehari saja, Arlon serasa sulit bernafas.
Kadang, dalam hidup ini ada hal yang kejam dan
tidak berperasaan yang tidak dapat dihindari. Namun Arlon tidak siap jika
hal kejam dan tak berperasaan itu adalah kehilangan Alana.
Arlon menghela nafas,
Langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok yang
amat sangat dicintainya sedang duduk menatap computer. Rasa lega meraksuk
relung jiwanya.
Dengan bahagia ia langsung menghampiri Alana,
kemudian duduk dimeja sebelah Alana.
Ya, selama ini Alana bekerja sebagai sekretaris
pribadi Arlon. Arlonlah yang selama ini memenuhi semua kebutuhan Alana, baik
lahir maupun bathin. Tidak hanya Alana, biaya sekolah adik Alana dan biaya
hidup keluarga Alanapun menjadi tanggungan Arlon.
Ya, lelaki berambut klimis, licin dan mengkilap itu
rela melakukan apapun demi Alana. Alana hidupnya, Alana nafasnya, Alana
jiwanya, Alana segalanya…
Alana masih bersikap dingin. Tak ada senyum hangat
apalagi ciuman mesra untuk Arlon.Arlon menatap mata Alana, bulu matanya lebat
dan lentik. Pandangannya beralih pada bibir Alana yang merah penuh dan seksi.
Ahh, benar-benar menggoda. Sejuta hasrat tiba-tiba datang menghampiri Arlon,
tapi ia mencoba menahannya. Ini jelas bukan saat yang tepat untuk menyalurkan
hasratnya.
Arlon membetulkan anak rambut yang menyutupi mata
Alana, mengelus pipi Alana kemudian mengecup rambut Alana lembut.
Saat Arlon akan memeluk Alana, Alana buru-buru
menghindarinya.
Arlon berusaha untuk mengerti Alana, “Sayang, kamu
kenapa? apa yang sebenarnya terjadi sampai kamu bersikap seperti ini!” Tanya
Arlon hati-hati.
Alana mengabaikan pertanyaan Arlon dan ia malah
menyibukkan diri dengan mengetik.
Arlon mematikan layar monitor. Alana menatap
Arlon. Pipinya merah menahan marah, ada rasa sakit yang tiba-tiba menyelinap
direlung hatinya, alana menggeleng. “Bisa kita tidak membicarakan masalah
pribadi sekarang?!” katanya tanpa semangat.
Arlon mengangguk. “Tapi aku butuh semangat dari
kamu, sayang!” Arlon mendekap alana dari belakang. “aku Cuma butuh 5 menit!”
Alana menghela nafas, kemudian mengangguk
mengiyakan permintaan Arlon.
Hanya 5 menit, tidak lebih.
Hanya 5 menit, tidak lebih.
≈Ω◊Ω◊Ω◊Ω
≈
Arlon mengajak Alana menemaninya di hotel, Alana menolak, Arlon menawarkan diri mengantar untuk Alana kekontrakannya, Alana kembali menolaknya.
Arlonpun mencari jalan lain. Ia mengajak beberapa
staf hotel termasuk Alana untuk makan malam terlebih dahulu, dan ini
semata-mata agar Alana mau pergi bersamanya. Atas desakan para staf hotel akhirnya
Alana mengiayan ajakan Aron, karena ia tahu betul, jika ia tidak ikut, Arlon
pasti akan membatalkan juga ajakan itu. Dan staf hotel pasti akan merasa kecewa.
Arlon menyewa sebuah restaurant mewah, tidak jauh
dari hotelnya.
Iapun mengajak Alana untuk duduk dimeja terpisah.
Namun Alana menolak. Alana bersikukuh ingin bergabung dengan 5 staf yang Arlon
ajak tadi.
Arlon masih berusaha bersabar menghadapi Alana.
Iapun menuruti kemauan Alana.
“Sayang, kamu mau makan apa?” Tanya Arlon penuh perhatian. membuat 5 staf itu tersenyum dan berfikir betapa beruntungnya menjadi Alana.
Alana diam tak menjawab.
Pak heru salah satu dari 5 staf hotel yang kebetulan duduk disebelah Alana,
memenyenggol lengan Alana menggunakan lengannya. Alana menorah kearah Pak Heru.
“Si bos!” bisik Pak Heru tepat ditelinga Alana.
Alana tersenyum, “Kalian saja, Aku gak laper!”
“Sayang, tapi aku liat kamu belum makan apa-apa
dari pagi!”
“Aku bilang
aku gak laper!” Seru Alana dingin.
Mendengar nada bicara Alana yang tidak mengenakan,
kelima staf pura-pura sibuk dengan kegiatan masing-masing, berusaha jadi
kambing tuli.
“Maaf, saya duluan!” seru Alana kemudian berlalu
meninggalkan mereka.
Arlon bangkit dari tempat duduknya, kemudian
memegang bahu Pak Heru “Kalian lanjutkan saja makannya, saya permisi dulu!”
Kelima stafnya memberi hormat.
Arlon langsung berlari mengejar Alana.
Alana sempat akan tertabrak mobil kalau saja Arlon
tidak menariknya.
Dengan panik Arlon langsung memegang pipi Alana.
“Kamu gak apa-apa sayang?” Arlon kemudian memeluk Alana.
Alana menggeleng dan menangis dipelukan Arlon. Arlon
mempererat pelukannya, mencoba memberi Alana kehangatan.
“Mulai sekarang, kapanpun kamu bahagia atau sedih.
Kita akan menjalaninya bersama!” Seru Arlon yang masih terus memeluk Alana dan
mengelus rambutnya lembut. Arlon benar-benar tak ingin berpisah apalagi
kehilangan Alana. “Jangan pergi, jangan lari… aku ada disini untukmu, sayang!”
Alana diam. Tak tahu harus berkata apa. Yang jelas
sekarang pikirannya sedang dihantui berbagai kemungkinan yang membuat dadanya
sesak.
Arlon mengantar Alana pulang.
Arlon mengantar Alana pulang.
≈Ω◊Ω◊Ω◊Ω
≈
No comments:
Post a Comment