Pages

Tuesday 27 September 2011

Please Don't Leave Me Alone, Alana! #2



Arlon menganggap dirinya selalu mengerti Alana. Tapi saat ini, saat ia menghadapi situasi seperti ini. Arlon tiba-tiba menyadari bahwa ia tidak benar-benar memahami Alana. Ya, ada banyak hal yang ia tidak mengerti dari Alana dan itu membuatnya benar-benar gelisah.
Arlon berjalan sekeenaknya menyusuri koridor hotel. Kepalanya sakit ketika ia memikirkan Alana.
Hawa semakin dingin, beberapa kali ia merapatkan jasnya.
Saat ia melihat Alana merasa sedih, iapun merasa sedih juga. Namun, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ini terlalu sulit untuknya. Ia benar-benar takut jika Alana meninggalkannya begitu saja, sedang tidak menatap wajah Alana sehari saja, Arlon serasa sulit bernafas.
Kadang, dalam hidup ini ada hal yang kejam dan tidak berperasaan yang tidak dapat dihindari. Namun Arlon tidak siap jika hal kejam dan tak berperasaan itu adalah kehilangan Alana.
Arlon menghela nafas,
Langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok yang amat sangat dicintainya sedang duduk menatap computer. Rasa lega meraksuk relung jiwanya.
Dengan bahagia ia langsung menghampiri Alana, kemudian duduk dimeja sebelah Alana.
Ya, selama ini Alana bekerja sebagai sekretaris pribadi Arlon. Arlonlah yang selama ini memenuhi semua kebutuhan Alana, baik lahir maupun bathin. Tidak hanya Alana, biaya sekolah adik Alana dan biaya hidup keluarga Alanapun menjadi tanggungan Arlon.
Ya, lelaki berambut klimis, licin dan mengkilap itu rela melakukan apapun demi Alana. Alana hidupnya, Alana nafasnya, Alana jiwanya, Alana segalanya…
Alana masih bersikap dingin. Tak ada senyum hangat apalagi ciuman mesra untuk Arlon.Arlon menatap mata Alana, bulu matanya lebat dan lentik. Pandangannya beralih pada bibir Alana yang merah penuh dan seksi. Ahh, benar-benar menggoda. Sejuta hasrat tiba-tiba datang menghampiri Arlon, tapi ia mencoba menahannya. Ini jelas bukan saat yang tepat untuk menyalurkan hasratnya.
Arlon membetulkan anak rambut yang menyutupi mata Alana, mengelus pipi Alana kemudian mengecup rambut Alana lembut.
Saat Arlon akan memeluk Alana, Alana buru-buru menghindarinya.
Arlon berusaha untuk mengerti Alana, “Sayang, kamu kenapa? apa yang sebenarnya terjadi sampai kamu bersikap seperti ini!” Tanya Arlon hati-hati.
Alana mengabaikan pertanyaan Arlon dan ia malah menyibukkan diri dengan mengetik.
Arlon mematikan layar monitor. Alana menatap Arlon. Pipinya merah menahan marah, ada rasa sakit yang tiba-tiba menyelinap direlung hatinya, alana menggeleng. “Bisa kita tidak membicarakan masalah pribadi sekarang?!” katanya tanpa semangat.
Arlon mengangguk. “Tapi aku butuh semangat dari kamu, sayang!” Arlon mendekap alana dari belakang. “aku Cuma butuh 5 menit!”
Alana menghela nafas, kemudian mengangguk mengiyakan permintaan Arlon.
Hanya 5 menit, tidak lebih. 

≈Ω◊Ω◊Ω◊Ω ≈

Arlon mengajak Alana menemaninya di hotel, Alana menolak, Arlon menawarkan diri mengantar untuk Alana kekontrakannya, Alana kembali menolaknya.
Arlonpun mencari jalan lain. Ia mengajak beberapa staf hotel termasuk Alana untuk makan malam terlebih dahulu, dan ini semata-mata agar Alana mau pergi bersamanya. Atas desakan para staf hotel akhirnya Alana mengiayan ajakan Aron, karena ia tahu betul, jika ia tidak ikut, Arlon pasti akan membatalkan juga ajakan itu. Dan staf hotel pasti akan merasa kecewa.
Arlon menyewa sebuah restaurant mewah, tidak jauh dari hotelnya.
Iapun mengajak Alana untuk duduk dimeja terpisah. Namun Alana menolak. Alana bersikukuh ingin bergabung dengan 5 staf yang Arlon ajak tadi. 
Arlon masih berusaha bersabar menghadapi Alana. Iapun menuruti kemauan Alana.
“Sayang, kamu mau makan apa?” Tanya Arlon penuh perhatian. membuat 5 staf itu tersenyum dan berfikir betapa beruntungnya menjadi Alana.
Alana diam tak menjawab.
Pak heru salah satu dari 5 staf hotel  yang kebetulan duduk disebelah Alana, memenyenggol lengan Alana menggunakan lengannya. Alana menorah kearah Pak Heru.
“Si bos!” bisik Pak Heru tepat ditelinga Alana.
Alana tersenyum, “Kalian saja, Aku gak laper!”
“Sayang, tapi aku liat kamu belum makan apa-apa dari pagi!”
 “Aku bilang aku gak laper!” Seru Alana dingin.
Mendengar nada bicara Alana yang tidak mengenakan, kelima staf pura-pura sibuk dengan kegiatan masing-masing, berusaha jadi kambing tuli.
“Maaf, saya duluan!” seru Alana kemudian berlalu meninggalkan mereka.
Arlon bangkit dari tempat duduknya, kemudian memegang bahu Pak Heru “Kalian lanjutkan saja makannya, saya permisi dulu!”
Kelima stafnya memberi hormat.
Arlon langsung berlari mengejar Alana.
Alana sempat akan tertabrak mobil kalau saja Arlon tidak menariknya.
Dengan panik Arlon langsung memegang pipi Alana. “Kamu gak apa-apa sayang?” Arlon kemudian memeluk Alana.
Alana menggeleng dan menangis dipelukan Arlon. Arlon mempererat pelukannya, mencoba memberi Alana kehangatan.
“Mulai sekarang, kapanpun kamu bahagia atau sedih. Kita akan menjalaninya bersama!” Seru Arlon yang masih terus memeluk Alana dan mengelus rambutnya lembut. Arlon benar-benar tak ingin berpisah apalagi kehilangan Alana. “Jangan pergi, jangan lari… aku ada disini untukmu, sayang!”
Alana diam. Tak tahu harus berkata apa. Yang jelas sekarang pikirannya sedang dihantui berbagai kemungkinan yang membuat dadanya sesak.
Arlon mengantar Alana pulang.

≈Ω◊Ω◊Ω◊Ω ≈ 

No comments:

Post a Comment