Pages

Friday, 26 August 2011

Bukan Anakmu!!!



Siapapun, tolong tampar aku sekarang, yakinkan bahwa apa yang terjadi padaku saat ini benar2 mimpi. Tolong! Aku mohon!.
Butiran2 bening menetes dari mataku, sungguh aku tak sanggup lagi menahan semuanya. Berat, ya, ini benar2 berat untukku.
Inikah konsekuensi logis dari kesetiaanku? Kasih sayangku? Kepercayaanku? Ya Tuhan, kenapa harus ada kalkulasi seperti ini? Kenapa semua kebaikanku seolah menjadi bumerang untukku sendiri.
Jika ada kata yang lebih dari kata sakit, mungkin kata itulah yang kurasakan sekarang.
Maya yang sedari tadi menemaniku, memelukku erat, berusaha memahami perasaanku, berusaha mengerti kesedihanku dan berusaha memberiku kehangatan. Namun, apa yang dilakukan Maya malah menambah semua bebanku.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrhhhhhhh................!!!!” teriakku histeris. Tangisku makin menjadi.
“Sabar Al, Sabar!” Maya mengelus rambutku lembut.
Aku menatap matanya tajam dengan air mata yang tak mampu kutahan, sungguh, aku benar2 terpuruk, sungguh aku benar2 marah, “SABAR??!” kataku penuh penekanan “Sampai kapan? Sampai aku mati karena menderita? Sampai anak ini lahir dan tahu bahwa ayahnya tukang main perempuan?” Aku mengelus2 perutku penuh kasih sayang, kutatap wajah2 foto2 yang berserakan dimeja itu dalam, tanpa ampun. “Aku kira dia laki2 paling baik didunia, aku kira dia laki2 paling setia, aku kira dia suami paling bertanggung jawab, tapi ternyata...” aku menangis lagi, tak mampu melanjutkan kata2ku. Aku benar2 depresi.
Entahlah, aku benar2 tak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, aku kehilangan arah, aku kehilangan tujuan.
Hanya titik, hanya kosong, AKU TELAH JATUH TANPA DAYA.

````-----````

Kreeeekkkkkkk...... seseorang membuka pintu.
Aku pura2 memejamkan mataku.
Sungguh saat ini aku hanya ingin sendiri diduniaku yang hitam dan kelam.
“Sayanggggg!” Desahnya manja. Sungguh aku muak mendengar suaranya.
Aaarrrrggghhh..... sial..... air mataku menetes mengenai lengannya.
“Sayang, kamu kenapa?” Tanyanya penuh perhatian kemudian mengecupku.
Aku masih berusaha menutup mataku.
“Sayang, kamu sakit? Muka kamu pucat sekali? Kamu udah ke Dokter?”
Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutku, masih berusaha menembunyikan segala rasaku.
“Bi.... bibi.... bibi....!” teriaknya.
“Aku baik2 saja” seruku nyaris tanpa ekspresi. Aku membuka mataku, memenggal teriakannya dengan air mata yang lagi2 membanjir. Sungguh aku benci menangis. Menangis hanya membuatku seperti manusia lemah, tak berdaya.
“Kamu kenapa sayang? Kamu ada masalah? Kamu kelihatan capek sekali! Apa hari ini kamu terlalu bekerja keras?”
aku benar2 benci perhatiannya, ya, itu hanya membuatku rapuh, itu membuat semua keakuanku hancur berkeping2.
Aku menghela nafas. Mengambil sesuatu dari balik bantal dan menyerahkan itu padanya.
Setelah menerima apa yang aku serahkan, ekspresinya benar2 berubah 100% . Ia shock, benar2 tak percaya pada apa yang dilihatnya, pipinya bersemu penuh malu dan penyesalan. Ia terbata, namun tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.
Dengan tenaga yang tersisa, aku berusaha menegarkan diriku, berusaha berlaku seperti semuanya baik2 saja, meskipun air mataku tak bisa kutahan. Ia terus jatuh membasahi pipiku tak tahu malu.
“Sejauh apapun tupai melompat, pasti akan terjatuh juga!” Aku berusaha tersenyum semanis mungkin ditengah perihku. “Saat ini, aku tak perlu penjelasan apapun, aku hanya ingin tidur, jadi aku mohon jangan ganggu aku!” seruku yang kemudian bangun mengecup keningnya, ya mengecup kening laki2 hidung belang yang telah mengkhianatiku, membuat jiwa dan hatiku hampa, penuh rasa kecewa.
Dia menjatuhkan tubuhnya kelantai, dia menangis. Entah menyesali perbuatannya atau hanya pura2 agar aku memaafkannya. Akh, aku tak tahu pasti.
Aku berlalu meninggalkannya. Hmmm, sebenarnya saat ini aku benar2 merasa sangat lemas dan lemah. Namun, aku tak mau terlihat seperti itu dimatanya. Aku tak mau disepelekan, aku tak mau dipandang menyedihkan.
Tiba2...
Praaaaaaaaaaaannnggggg......
suara itu terdengar dari dalam kamar.

````-----````

Tiga bulan berlalu setelah kejadian itu.
Hari ini aku akan melahirkan anak pertama kami. Tak bisa kupungkiri kejadian itu masih terus saja mengganggu pikiranku. Dendam pun masih terngiang dalam benakku.
Laki2 yang pernah menyakitiku, membuat hatiku hancur berantakan, membuat jiwaku diterkam kesunyian dan masih resmi menjadi suamiku terlihat begitu antusias, diwajahnya tersirat bahagia yang tak bisa di gambarkan dengan mudah ketika melihat putra kami yang tampan luar biasa lahir ke dunia. 
Ponselku berdering. Kubiarkan suamiku yang mengangkat. Dia menyerahkan padaku.
“Siapa?” tanyaku dengan kelelahan yang masih terasa. Kulihat nomor telepon itu tanpa nama.
Ia mengangkat bahu, “Ingin bicara padamu”
“Oh kamu, hmmm, aku sudah baik, anak kamu laki2, tampan sepertimu! Kapan kamu menjenguk? Aku benar2 rindu kamu!” seruku dengan intonasi senormal mungkin.
Suamiku merampas ponsel dari tanganku dan membantingnya ke lantai. Wajahnya menegang. Terlihat sangat kaget. “Apa yang kamu maksud anak kamu? Kamu siapa?”. Tanya suamiku penasaran.
“Anak ini BUKAN ANAK KAMU! Dia anakku dengan laki2 itu. Itu alasan kenapa aku tidak marah ketika aku tahu kamu selingkuh, karena kita sama!”
Suamiku membanting pintu dan keluar tanpa sepatah katapun. Sepertinya ia benar2 marah. Sungguh, Aku tersenyum lega. Kini, sakit hatiku terbalas sudah. Kalau dia bisa menyakitiku begitupun sebaliknya, akupun bisa. Jangan pernah remehkan perempuan.
Akan ada saatnya kau akan tahu sesuatu suamiku. Malaikat mungil ini sebenarnya memang anak kandung kita. Masalah telepon tadi, entahlah siapa itu aku benar2 tak tahu. Dia belum mengeluarkan sepatah katapun. Kupeluk erat malaikat kecilku dengan senyum. “Aku hanya bisa berharap semoga kamu tidak mirip dengan ayahmu, nak, jadilah anak yang soleh....!” batinku, lagi2 dengan linangan air mata.
Huuufffhhhh.........

````-----````

setelah berbulan2, akhirnyyyyyaaa bisa menulis cerpen kembali :D:D:D
 saat matahari menunjukkan keangkuhannya,
17 juli 2011
12:27 WIB

No comments:

Post a Comment