Pages

Friday 30 March 2012

"The Raid" - Satu Rasa yang Telah Hilang Kini Kembali, Rasa Bangga Akan Karya Anak Bangsa


“The Raid” adalah fenomena perfilman Nasional, ia menjadi film pertama yang didaur ulang oleh Hollywood, dan ini sejarah, tidak hanya untuk perfilman tapi juga untuk bangsa Indonesia itu sendiri. Orang-orang Indonesia yang menonton “The Raid” hampir 95% pasti pulang dengan tersenyum bangga, penuh haru dan takjub. Yang 5% adalah orang-orang yang tidak suka film kekerasan, tidak suka melihat darah muncrat di mana-mana dan orang sirik yang tidak suka melihat “The Raid” sukses, juga film maker sejati yang sangat tahu tentang film. Bagaimanapun ini film Indonesia, bung!
Tugas kita mendukung karya pribumi yang harus jadi raja di negerinya sendiri atau bahkan dunia, yap, “The Raid” membuka mata internasional untuk melihat perfilman Indonesia yang ternyata juga bisa bersaing dan tak bisa dilihat hanya dengan sebelah mata saja. Lupakan Om Gareth yang bukan asli Pribumi karena ia mencintai Indonesia sama seperti kita, bahkan lebih malah. Sekarang bukan saatnya memperdebatkan sutradara atau kru asing yang bukan pribumi, ini adalah film yang mengembalikan satu rasa yang telah hilang dari film nasional, rasa bangga akan karya anak bangsa. Bagaimanapun caranya kita harus dukung.
Mekipun film ini tidak memiliki karakter sekuat film-film Hollywood sana tapi film ini tak bisa disepelekan begitu saja, karena Sersan Jaka, Rama, Tama, dll, mampu menghidupkan suasana, bagaimana tidak, detail demi detail di film “The Raid” begitu menyihir, bahkan di menit awalpun kita sudah dibuat berimajinasi dan tidak bisa bernafas. Menonton “The Raid” seperti menatap lukisan Mona Lisa, artistic dan penuh makna. Karya seni yang klasik namun bisa membuat siapapun yang melihatnya terpesona dan berharga jual tinggi. Inilah sebuah evolusi film aksi yang nyata.
Ini nuansa baru bagi perfilman Indonesia. Baru kali ini nonton film yang sampe lupa nafas, lupa smsan, lupa twitteran, facebookan, nonton gak nyantai, gak senderan, dibuat tegang dari adegan awal-akhir, bikin gua pasang wajah serius ( ini jarang banget ). Dan harusnya kita bangga, bahwa film yang lowbudget bisa jadi fenomena & TTWW di dunia.
Perkelahian demi perkelahian, ledakan demi ledakan, membuat kita enggan berkedip, terpana melihatnya. Salutnya, film ini tidak berusaha ke barat-baratan, sangat Indonesia sekali, tidak hanya soal silat. Hampir tidak ada  yang tidak mencerminkan bahwa iniloh Indonesia, negara yang kita cintai. Ini realitas bung, tak usah kita menutup mata lagi bahwa sisi lain Indonesia adalah negeri yang kejam, keras dan culas, dimana nilai dan norma kadang tak berlaku, dimana yang berkuasa yang menang, dimana kekerasan bisa lebih menyelesaikan segalanya ketimbang dialog, liat deh di TV acara berita, hampir tiap hari beritanya bentrok, perkosaan, dll. Keras bukan? ( tapi bagaimanapun, toh kita tetap mencintai Indonesia, apa adanya. Kita tetap bangga padanya, karena meskipun banyak sisi negative dari negeri kita ini, sisi positifnya jauh lebih banyak bukan?). yap, “The Raid” seperti miniature di pinggiran kota Jakarta. Barang-barangnyapun mewakili kota Jakarta, dari kursi ban sampe tempat sendok garpunya.
Gua sangat respect dan menghargai hasil karya Om Gareth Cs yang memperlihatkan sisi aksi sebenarnya dari silat dan definisi film aksi yang murni, yap,  kerja keras mereka membuahkan hasil yang tidak bisa disepelekan. Bukti nyata jika sesuatu didasari niat tulus, hasilnya akan bagus. Bahkan luar biasa malah.
Film “The Raid” tepat kesasaran, karena siapapun yang melihatnya, dari kalangan apapun, rata-rata dibuat ngos-ngosan dan terkesima, heroic bloodshednya dapet banget. “The Raid” benar-benar mengangkat pencak silat, karena banyak scane yang lebih menjurus pada perkelahian tangan kosong, perkelahian dengan senjata yang Indonesia sekali seperti pisau, palu, martil, golok, dan ah, entahlah apa itu namanya aku tak tahu, yang jelas khas Indonesia, ketimbang perkelahian dengan senapan. Luar biasa bukan? Om gareth juga berpesan untuk menikmati dan bersenang-senang di film ini.
Kecintaan om Gareth pada pencak silat dimulai pada 2007 saat ia menggarap dokumenter “The Mystic Art of Indonesia: Silat” yang diproduseri Christine Hakim. Di sinilah ia bertemu dengan atlet pencak silat berbakat yang akan menjadi calon bintang laga internasional, Iko Uwais. Bersama Iko dan Yayan Ruhian ( seseorang yang sangat mencintai seni bela diri silat) , Om Gareth mencoba membuka mata dunia akan silat ( lewat film).
Darah muncrat, kepala pecah tertembus peluru, bagian tubuh terpisah terbilah samurai, hingga seprihan kaca yang menancap batang leher, juga pengambilan gambar adegan perkelahian dengan sempurna, membuat gua benar-benar merasa sesak nafas, membuat jantung gua serasa digenjot terus menerus. Ini jelas nilai plus bagi “The Raid”, kenapa? karena film ini memberi warna baru dan pencerahan bahwa keindahan film laga itu tidak hanya harus mengandalkan ledakan gigantic berbudget tinggi.
Selain mengangkat silat ke dunia Internasional, film ini juga sebenarnya berusaha menyentil budaya kekerasan yang ada di Indonesia. Ini jelas bukan hanya film laga biasa, yang biasa itu, film laga, naga terbang khas Ind*siar. “The Raid” mengajarkan bangsa Indonesia, sebuah kekuatan, perjuangan, pertahan dan kesiapan kita menghadapi tantangan besar didepan, yang kadang tak pernah kita duga.
“The Raid” tidak memberikan waktu kita untuk mengobrol, makan, minum, kebelet atau apapun. Karena, tingkat kegilaan film ini benar-benar maksimal. Film ini tuh brutal, kejam, cadas, sadis, keren, bertabur keringat & darah, menghibur, menegangkan, bikin ngilu karena sayat sana-sayat sini, pukul sana-pukul sini, bikin merem melek, terbawa emosi, terbawa situasi, melongo, senyum-senyum psikopat, bikin terpesona, bikin tercengang, nangis bahagia, tepok tangan-tepok kaki bangga, meringis, gemeteran, melongo, kepanasan, membuat terkejut bathin, terpicu adrenalinya, sampai-sampai, gak sedikit orang menggunakan kata “Anjing” untuk mengekspresikan kekaguman terhadap adegan demi adegan di film ini. Sampe ada orang yang gak bisa bediri pas film selesai atau ikut cekek leher sendiri saking ekstrimnya ni film. 


Ya, film ini memang keras, brutal dan berdarah-darah tapi gak diekploitasi seperti film-film action Indonesia kebanyakan, yang kadang lebih memperlihatkan hasil kekerasan dan darah itu berlama-lama. Film ini juga kadang bikin kita mangap, terperangah, nyengir, nyinyir, gregetan, bikin parno, bikin takut, bikin kaget, penuh semangat, sedih bahkan kecewa, bikin kita heboh, ketawa-ketawa, tepuk tangan. Bikin kita abnormal pokoknya! Tapi seru!
Meskipun film ini keren, tapi sangat tidak dianjurkan membiarkan anak kecil menontonnya. Hanya orang tua gila yang membiarkan anaknya menonton film ini. Karena kita tahu sendiri anak kecil mudah sekali menyerap apapun yang masuk ke panca inderanya, kita gak mau kan anak kecil-anak kecil yang menonton malah ngikutin tingkah Tama, Rama, Mat Dog ato Andi yang negatifnya? Orang yang lemah jantung, ibu hamil ato orang gak tahan liat muncratan darah, lu-lu juga sama sekali gak dianjurin nonton film ini, karena film ini duel abis.
Film ini memang masih jauh dari sempurna, banyak sisi yang kita liat kurang seperti:

*        Film ini tak memberi petualangan baru jika dilihat dari segi cerita karena mudah ditebak.

*        Ada kebosanan ketika membuat Mad Dog kalah, bikin gregetan satu studio.

*        Adegan tembakan juga serasa kurang real, terlalu banyak peluru yang keluar, sedang kita tau kapasitas tembakan seperti itu kan tidak banyak.

*        Pemilihan cast utama kurang tepat, sepertinya Andi lebih matang dan bersinar dari Rama sendiri. Rama masih terlihat kaku dan kurang mendalami perannya, ketika non action. Bahkan ketika action, gerakannya serasa kurang power kalo di banding Mat Dog.

*        Dialog, kosakata dan gaya bicaranya masih kaku, kurang kuat, terlalu banyak menggunakan EYD. Dan kadang beberapa terkesan malu-malu dan terlalu maksa. Kebetulan dialog emang Om Gareth serahkan ke masing-masing actor supaya lebih natural, tapi ini malah kurang menjaga intensitas (ada beberapa dialog yang rasanya bukan kurang lama, tapi kurang pas). Dialog baku sepertinya tidak sesuai untuk jenis film yang kasar seperti ini. Cuma Tama dan Andi yang patut diacungi jempol kalo acting.

*        Asal muasal konflik dan beberapa dialog memang membuat kita mengerutkan kening, gak ngerti ( makanya mesti nonton lebih dari 1x biar ngerti )

*        Kenapa kamera pengintai tidak dimatikan Tim SWAT, sehingga Tama tak bisa melihat? Dan mematikan kamera pengintai adalah hal yang paling lumrah yang biasanya dilakukan penyusup ( aduuhh, sini deh belajar sama gua! )

*        Saat scene anggota penjahat menembaki mobil taktikal tim SWAT kesannya aneh, biasanya mobil pasukan khusus dibuat khusus juga, lapis baja dan anti peluru.

*        Heran kenapa polisi elit gak punya alat komunikasi ( tapi ini gua jawab, mungkin ini serbuan tanpa surat resmi )

*        Ditengah penyerbuan yang genting, kenapa si sopir mobil Tim Swat malah asik baca Koran, sehingga ia mudah dibunuh. Si sopir juga terliht begitu kaku.

*        Ketika baku tembak di lantai 5 sedang musuh di koridor lantai 6. Banyak polisi yang meninggal gara-gara menembak dari situasi yang gak strategis, yang jadi pertanyaannya kenapa gak pake granat aja?

*        Ketika Tama membeberkan begitu saja soal scenario pembunuhan Lertnan Wahyu, terkesan sedikit maksa.

*        Kenapa juga adegannya hanya sampai lantai 15? Mana lantai 16-30. Karena jelas di Poster tertulis 30 lantai.

*        Dll, tapi garis besarnya itu.
Tapi kita mesti ingat, karena dari awal sebetulnya Om Gareth menegaskan bahwa film ini murni untuk bersenang-senang. Jadi jika ada yang mengharapkan plot rumit supaya lebih nendang, “The Raid” emang gak bisa menuhin ekspetasi itu. Plot yang super sederhana dan dialog yang dangkal itu harusnya bisa ditolelir, karena film ini sebenernya difokuskan untuk lebih menjual keindahan visual yang sebenarnya berhasil memuaskan mata. 
Lagipula rasanya terlalu dini untuk mengkritik sebuah inovasi film dari sineas negeri ini, kalo baru maju langsung dikritik, kapan bisa maju? Kapan bisa berkembang? Kapan kita bisa menghargai susah payah sineas negeri ini bisa bersaing? Gini deh, mari kita budayakan budaya berfikir positif, jangan melihat dari segi lemahnya saja, coba lihat dari sisi sinematografinya ( angel shooting, editing, cahaya, kualitas kamera, scene perscene, lokasi shooting, efek bacokan sampai tingkat kesulitan) juga, film ini ada drama juga plotnya, jadi salah besar jika ada orang yang bilang Cuma bag-big bug doang, coba deh di telisik lagi dramanya, nih gua gambarin beberapa contoh :

v  Adegan Rama sholat, latihan, pamit pada sang istri, kemudian pamit pada sang ayah dan berujar “Aku akan bawa dia kembali”.

v  Kekagetan Letnan wahyu karena pasukan yang di bawa ( Tim SWAT ) ternyata banyak. Yang berujung pada perdebatan sengit.

v  Adegan ketika Rama selesai mengeluarkan peluru Bowo, bowo menjelasklan bahwa sebenarnya bukan misi kemanusiaan, karena orang-orang sini ( preman dan pembunuh bayaran), sering melihat Letnan Wahyu berseliweran, dari sana Rama baru tau kalau ternyata penyerbuan ini hanya akal-akalan Letnan Wahyu.

v  Adegan ketika Andi mengajak Rama bicara dan Andi bilang ke Rama, di perjalanan keluar, kalo dia bisa nyelametin Rama dari dunia ini, tapi apa bisa Rama nyelametin dia di dunia luar sana? Sampai akhirnya  Andi lebih milih tinggal di dunia hitam dengan alasan yang sama kenapa Rama masih bertahan di dunia kepolisian. Benar-benar mengharukan.

v  Dll.
Makanya, nonton film ini sebaiknya gak sekali, harus beberapa kali, supaya lebih dapet feelnya dan ayo kita tinggalkan budaya mengkritisi sesuatu, tapi kita sendiri sebenarnya tidak mampu membuat hal-hal yang kita kritisi itu. Bule aja support masa kita mencaci dan memaki. Gak ada salahnya kan sekali-sekali kekerasan mengharumkan nama Indonesia, toh bukankah kekerasan juga bagian dari negeri ini? Dari sini, kita juga bisa belajar menghafal nama-nama hewan kan? ( ambil positif dari semua umpatannya).
Tema film ini juga fresh, gak ikut-ikutan dan Indonesia sekali. Apalagi dengan dana yang minim ini sesuatu banget loh! Bikin film itu gak gampang apalagi untuk ke jenjang internasional. Bukankah film ini jadi standard baru film aksi bukan hanya di Indonesia tapi juga di Dunia? Harusnya kita bangga dong! Apalagi, efek gorynya sudah sekelas Hollywood, bahkan actionya menurut gua diatas rata-rata film Hollywood, film ini membuktikan bahwa pencak silat juga bisa jadi sebuah bela diri tangguh dalam sebuah film. Umpatan yang keluarpun wajar karena ya itulah Indonesia sebenaranya, gak percaya? Coba lu pergi ke kolong jembatan, ke perkampungan kumuh ato ke pasar tradisional? Bahkan umpatan-umpatannya terkesan abnormal.
Tapi, intinya siy, semua ini soal selera. Wajar kalo ada yang suka dan nggak, karena selera kita tidak selalu sama bukan? Dan kita gak bisa maksa nyuruh suka ato nggak. Kritikus juga gak ada yang objektif karena kembali, semuanya soal selera. Yang jelas gua udah nonton, dan gua puaaassssss! Apapun komentar negative tentang film ini, gua gak peduli, toh, gua menikmati film ini.
Kalau masalah kritikus film, yang beberapa ngeritik negative film ini, nggak usah ngikut-ngikutin dan gak usah diambil pusing, mereka enak tinggal ngomong, dengan catatan, sineas Indonesia harus lebih kreatif dan lebih matang, membuat film yang jauh lebih bagus dari “The Raid”, mengisi yang nggak ada di “The Raid”. Lagipula bukankah Kritik negative itu membuat seseorang tumbuh dan berkembang, meski rasanya pahit. Apalagi jika film ini di kritik oleh orang sekelas Opa Roger Ebert. Wuuiiihh, suatu kehormatan, meski hanya di kasih satu bintang ( satu bintang juga menurut gua udah kebanggaan ), keritik beliau hangat dan bawa semangat perbaikan. Dan gua berharap kritik Opa itu dijawab Om Gareth di “Berandal”. Review Opa Ebert juga sebenarnya iklan Gratis untuk “The Raid” sendiri. Setelah di review Opa, “The Raid” makin mengundang penasaran khalayak yang lebih luas. Opa Ebert juga kayaknya perhatian banget sama film ini, sampai dia harus ngejelasin kenapa dia memberikan komentar negative untuk film “The Raid” ini.
Meski gua tau, “The Raid” pesan moral dan humornya kurang, tapi gua tetep angkat topi buat film ini. Kebanyakan dari kita sudah lelah dijejali film-film hantu yang gak jelas dan gak bermutu bukan? Film hantu yang bukannya bikin ngeri tapi malah bikin horny.  Semoga ini jadi cikal bakal kemajuan perfilman Indonesia.
Masalah ending yang ngegantung emang disengaja, karena akan diterusin di “Brandal”. Menurut gua siy, endingnya gak basi, tiap orang kan punya hidup, kehidupan dan pilihan masing-masing. Setiap orang juga berhak nentuin jalannya sendiri. Yang bener gak selalu jadi pemenang, yang salah juga gak selalu jadi pecundang.

No comments:

Post a Comment