Menurut
Arie Sugantoro sang produser, awalnya “The Raid” akan diedarkan di
Indonesia dengan judul “Serbuan Maut”. Namun dengan
berbagai pertimbangan, akhirnya mereka memutuskan menggunakan judul yang sama
dengan versi internasional yang kemudian di Amerika ditambahkan namanya jadi“The
Raid: Redemption”.
“The
Raid” memang punya plot yang super
sederhana, tapi memiliki makna dan isi yang luar biasa ( coba nonton gak Cuma sekali, ato yang versi
amerika ). Ya, dari awal kita memang sudah bisa menebak bagaimana
ending ceritanya. Tapi, sungguh adegan demi adegan di film ini tuh “Indah”.
Gua dibuat terpana, terlena, takut, kaget, cemas, lucu, gregetan, dll. “The
Raid”mengocok, mengaduk, mencampur baurkan perasaan begitu saja tanpa
rekayasa.
Gua
sebenernya gak terlalu suka sama film yang berbau kekerasan, perkelahian dan
semacamnya, but “The Raid” pengecualian. Karena darah yang muncrat dan baku hantamnya terlihat sangat
eksotis dalam pandangan. Adegan silat yang gua tau terkesan rumit
dan sulit, dibuat menjadi tontonan yang siapapun melihatnya pasti terpesona.
Om
Gareth menyajikan sesuatu yang berbeda, tidak hanya untuk film ini, tapi juga
untuk perfilman Indonesia bahkan dunia. Kekerasan di tampilkan secara vulgar,
dan ke-vulgar-an itulah yang membuat gua dan bahkan hampir 98% penonton
berdecak kagum dan tak segan bertepuk tangan untuknya.
Menonton
“The
Raid” seperti bermain sebuah game peperangan, saat level satu berhasil
diselesaikan, kita tak tahu apa yang akan terjadi di level 2, tapi sepertinya
kita tahu bahwa rintangan di depan lebih berat dan lebih menegangkan. Sajian demi sajian, adegan demi adegan, benar-benar tampak
berbeda dan menegangkan. Tidak Cuma buat gua, tapi juga buat orang-orang
dibawah ini :
Larnel Stovall ( Koreografer
Mortal Kombat ) bilang , menonton “The Raid”, mendengar penonton bersorak dan
merasa ngeri pada kebrutalan beberapa perkelahian adalah pengalaman yang hebat”
Scott Adkins pemain “Undisputed
II : Las Man Standing” dan “Undisputed III : Redemption” berujar bahwa : film
“The Raid” adalah film action terbaik yang pernah dia lihat setelah “The
Matrix”, film ini benar-benar hidup”
Peter Sciretta dari Slash memuji
“The Raid” sebagai film aksi terrbaik yang pernah ia lihat dalam beberapa
tahun.
Pendapat senada mengemuka juga
oleh Alex Billington (First Showing).
Dia bilang, "Ini
benar-benar adalah salah satu film action terbaik yang pernah kulihat dalam
beberapa tahun."
Brad Miska (Bloddy Disgusting) juga memuji “The Raid”. “Ini adalah film action
terbaik yang pernah dirakit, energy tertinggi yang pernah ada di film layar
lebar” katanya.
“Ini dia 9 dari 10 bintang!” puji
Tim Hannigan (Horror Movies)
untuk film ini.
The Hollywood Reporter
menilainya, "tidak mendapatkan
film laga dengan kekerasan ultra yang jauh lebih menarik dari film Indonesia
ini!”
Kritikus film Andrew Parker
menyatakan, "The Raid mencapai kesempurnaan film laga!” dia bahkan
memberikan 5 bintang dari 5 bintangnya.
Anton Sirius (Aint It Cool) menyatakan, "The Raid menampilkan dasar yang mungkin anda
inginkan ketika anda pergi menonton film aksi”
James Rochi (MSN Movies)
menyatakan, The Raid menyamai Die Hard.
Bahkan, Drew McWeeny (Hit Fix) tanpa ragu memujinya sebagai
film laga yang nyaris sempurna.
Situs aggregator
kritik film Rotten Tomatoes memberi sertifikat “segar” dengan skor 88%, 4 dari
5 bintang. Dia bilang: “The best movie I saw this weekend was: The Raid:
Redemption. The Hunger Games was good. #TheRaid was MAGNIFICENT”.
Stephen Whitty (Newark
Star-Ledger) bilang bahwa seluruh hal di film ini begitu jelas.
Liam Lacey (Globe and Mail ) menyatakan bahwa “The Raid:
Redemtion” terasa seperti film action yang disuling untuk esensi ( hakikatnya)
setelah terlalu banyak tontonan Hollywood.
Lou Lumenick (New York Post )
juga memuji dengan menyatakan aksi ini brutal, berdarah-darah dan hampir membuat andrenaline terpicu tanpa henti.
David Lewis (San Francisco
Chronicle ) bilang “film ini membuat sesak, sangat keras dan menyenangkan”
Scott Bowles ( USA Today ) memuji
juga dengan menyatakan “The Raid” adalah film tahun ini yang paling turbo-charged film. Seni bela diri orang Indonesia yang mengangkat
kekerasan namun memberikan karakter modern pada pandangan dunia
Mark Jenkins ( NPR ) menyatakan
bahwa “Film ini energy yang menggelegar, bukan hanya kumpulan momen berdarah!”
Joe Neumaier (New York Daily News
) bilang menonton film Ini melelahkan ( terpicu terus ) tapi menyenangkan.
Michael Phillips (Chicago Tribune
) I love that a film this gory secured the same Motion Picture Association of
America rating as "The King's Speech."
Peter Howell ( Toronto Star ) ini
gelombang adrenalin yang menghubungkan protagonist dan cerita yang kuat untuk
mengembangkan seni bela diri tradisional Indonesia (silat). Ini bisnis yang
baik.
Ernest Hardy (Village Voice ) bergerak cepat, penuh dengan
game-changing sekuens laga yang memiliki kualitas ( kebrutalan yang indah). Gareth Evans membuat seni bela diri ( silat ) dalam “The Raid”
ini hidup dan membuat orang bersemangat menyebarkan virus ( Silat) itu.
Robert Koehler ( Variety ) said “It's easy to forget the story altogether in
the sheer rush of Rama's fight to the top floor; instead, viewers will wonder
how the amazing battle that just ended could possibly be topped. But it is,
again and again”.
Gimana?
Setelah baca komen-komen diatas? Masih ngerasa “The Raid” biasa aja? Gak
mutu? Film ini juga sebenarnya hanya rencana cadangan saat pertama kali Om
Gareth memutuskan untuk membuat film kedua ( Brandal ) setelah “Merantau”.
Ia sebenarnya ingin membuat film yang bujetnya lebih besar dari “Merantau”
dan film yang benar-benar berbeda. Namun karena krisis financial yang mendera
perfilman Indonesia kala itu, dia memikirkan bagaimana mencari uang dalam waktu
1 ½ tahun. Tapi ternyata tak bisa, pikirannya mentok, mengumpulan uang dalam
jumlah yang sangat besar tidak semudah mengumpulkan pengangguran. Tapi, ia tak
mau membuat film dengan bujet terbatas dan setengah-setengah karena takut akan
kehilangan ruang lingkup dan ukuran yang mereka inginkan dari film itu
sesungguhnya, dia tak mau mengorbankan kualitas film itu sendiri. Akhirnya dibuatlah
rencana kedua yaitu “The Raid” yang lokasinya hanya dalam sebuah bangunan demi
menghemat biaya produksi. Selain itu Om
Gareth juga merasa harus mempromosikan seni bela diri silat di kancah
Internasional lewat film-filmnya. Dan sepertinya niat itu tercapai, karena
respon dari masyarakat Internasional juga luar biasa. Hebat yah, rencana kedua
saja bisa sekeren ini, apalagi “Berandal”? ah, tak sabar rasanya menanti “Berandal”.
No comments:
Post a Comment