Pages

Thursday, 12 July 2012

Thank You, Khun!



Prang… prang… prang… 
Lagi-lagi-lagi dan lagi suara itu membahana diseluruh ruangan, membangunkan Jia dari tidur nyenyaknya, entah itu suara piring pecah, gelas pecah atau vas pecah, ia tak tau pasti, yang jelas suara pecahan itu pasti pekerjaan mama dan papanya,  ya, karena itu bukan hal asing dirumahnya, suara-suara pecahan-pecahan itu sudah menjadi rutinitas di rumahnya setiap pagi dalam beberapa bulan terakhir ini. hufh!
Mendengarkan orang tuanya bertengkar disetiap bangun dan tidurnya, benar-benar membuat frustasi saja. Arrgghh, rumah ini sudah seperti neraka saja, bawaannya selalu panas.
Jia menghela nafas panjang, ia tak berharap sesuatu yang hebat terjadi pagi ini, ia hanya berharap ketenangan, tapi ia tahu pasti, ia tak akan mendapatkan ketenangan itu dirumah neraka ini, mengharapkan ketenangan dirumah ini sama saja seperti mengharapkan orang yang sudah meninggal beberapa tahun untuk bangkit lagi, MUSTAHIL!.
“Semua gara-gara kamu mas, andai kamu tidak masa bodoh dengan anak kamu sendiri, Jia tak mungkin dikeluarkan dari sekolahnya!”
“Lah kok kamu nyalahin aku, kamu juga masa bodoh, kamu lebih sibuk dengan brondong pelatih tari Tango-mu yang tampan ketimbang Jia kan?”
“Apa bedanya denganmu yang setiap hari rapat di hotel bersama sekretaris pribadimu, hah?”
“Cukup… sudah cukup!” teriak Jia melerai keduanya, “Tidakkah kalian sadar pertengkaran kalian menyakitiku, menambah beban pikiranku dan membuat dadaku terasa sakit?” Air mata Jia tak tertahankan, “Aku dikeluarkan karena aku memang pantas dikeluarkan, berhentilah bertengkar!” tegas Jia yang kembali masuk ke kamarnya.
Mama dan papanya tertunduk, merasa bersalah.
********
“Neng, sudah sampai!” pak Kim, supir pribadi Jia, membangunkannya dari tidur.
Jia terbangun kemudian menghela nafas dalam lalu menatap supir tersayangnya yang sudah ia anggap keluarganya sendiri yang terlihat begitu khawatir dengan keadaannya, “Kenapa pak?”
“Hati-hati ya, Neng!”
Jia tersenyum, “Tenang Pak, aku baik-baik aja kok!”
“Dari luar Neng memang terlihat sebagai seorang yang sempurna dan tak bercela, tapi bapak tau, neng adalah orang yang paling kesepian yang patut dikasihani.
Jia meradang, ia menyunggingkan seulas senyum, “Hari ini aku memang tidak begitu bahagia, terimakasih telah membuat aku jauh lebih baik dengan rasa kasihanmu!” katanya dengan ekspresi datar.
Pak Kim membalas senyum Jia dengan tersenyum juga.
“Jangan melakukan hal-hal yang mengkhawatirkan ya neng!”
“Menghawatirkan?” Jia tersenyum lagi, “Menghawatirkan siapa, Pak?”
“Neng!”
“Iya-iya-iya Pak Kim cerewet, aku janji, aku tak kan membuatmu khawatir! Aiisshhh, bapak bahkan lebih cerewet dari papa, sepertinya kau yang lebih cocok jadi ayahku!”
“Neng!”
“Sudahlah, aku tak mau mendengar nasehatmu lagi, sungguh itu membuatku makin using saja!” Jia memotong ucapan Pak Kim kemudian berlalu meninggalkan Pak Kim.
Pak Kim menatap punggung Jia yang mulai menjauh, “Sabar ya neng!”
Sebelum Jia menghilang, ia menyempatkan diri menoreh kea rah Pak Kim yang sedari tadi memperhatikannya, “Do’akan aku ya!” teriaknya penuh semangat.
Pak Kim tersenyum kemudian menganggukan kepalanya, ah, anak itu.
********
Jia berjalan santai sambil mengunyah permen karetnya juga mencari-cari dimana kelasnya. Ia berhenti ketika ia melihat sebuah papan diatas pintu bertuliskan kelas XI IPA 2, tanpa basa-basi dan tanpa mengetuk pintu iapun langsung memasuki kelas itu, semua yang ada diruangan kelas itu langsung menodongnya dengan tatapan heran.
Jia mengangkat tangannya kemudian menggerak-gerakan 5 jarinya secara bersamaan, “Halo!” sapanya
Seorang wanita bertubuh semampai dengan penampilan feminis-metropolis menghampirnya, Jia yang sedang asik mempermainkan permen karetnya dengan tangan,  “Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan? Apa kamu tak punya sopan santun?”
Jia tersenyum menatap wanita yang mengenakan kemeja putih polos yang dipadupadankan dengan blazer berwarna merah marun yang sekarang hanya berjarak beberapa cm saja dari sisinya. “Sopan santun? Hmmm, orang tua saja sibuk dengan urusannya, disekolah lama juga saya lebih sibuk nyari masalah ketimbang belajar, jadi saya tak pernah belajar sopan santun. Tapi sedikit yang aku tau, sopan santun itu hanya melahirkan kepura-puraan!”
“Kepura-puraan?” tanya wanita itu sambil mengerutkan kening, heran.
“Ya, kepura-puraan! Atas nama sopan santun kita kadang nyembunyiin perasaan yang sebenernya, sopan santun juga kadang ngebatesin kita ngomong apa adanya tentang segala hal!”
Sebagian murid tersenyum dan bersorak tanda setuju dengan ucapan Jia, sebagian lagi menatap Jia dengan tatapan tak suka, sebagiannya lagi tak peduli dan lebih memilih sibuk dengan urusannya sendiri.
 “Oh iya, saya murid baru disini, tadi Pak Kepala sekolah berniat mengantar saya, tapi saya larang dan saya memilih masuk kelas ini sendiri, ini surat pemberitahuanya!” Jia menyerahkan selembar kertas yang terlipat menjadi 3 bagian pada wanita yang tepat disampingnya.
Wanita itu meraihnya kemudian langsung membacanya, “Kali ini ibu maafkan kamu, tapi lain kali jangan harap, silahkan cari meja kosong, karena pelajaran akan segera ibu mulai lagi, oh iya sbelum itu silahkan perkenalkan diri!”
“Thank you bu, nama gua Jia, gua dikeluarin dari sekolah lama gara-gara gua suka cari masalah, gua sangat gak suka kalo ada orang ngomongin gua dibelakang dan gua gak segan main tangan sama pengecut!” Seru Jia yang kemudian berjalan ke bangku kosong, sebelum duduk, ia menatap Bu Yuri kemudian berujar, “Oh iya bu, jangan terlalu serius, ibu kelihatan lebih tua dari umur ibu sebenarnya!”
Mendengar perkataan Jia barusan, wanita yang bernama Bu Yuri itu terang saja kesal, ia menatap Jia tajam,
“Jangan mengerutkan dahi seperti itu, ibu makin terlihat tua tau!” serunya enteng kemudian duduk di salah satu bangku kosong!
“Jia, silahkan kamu keluar dari kelas ini!” Seru Bu Yuri sambil berusaha meredam emosinya. Jia memang sedikit keterlaluan.
Jia bangun dari tempat duduknya, ia tersenyum. “Thank you bu!” ia berjalan santai.
“Tunggu!” seru Bu Yuri menahan langkah Jia.
Jia berhenti. Kemudian membalikan tubuhnya menatap Bu Yuri, tatapan itu seolah bertanya “Kenapa Bu?”
Bu Yuri menghela nafas, “Silahkan kamu duduk kembali karena pelajaran akan segera saya mulai!”
Semua menatap Bu Yuri heran termasuk Jia, baru kali ini Bu Yuri bersikap plin-plan
“Kalau saya membiarkan kamu keluar, keenakan di kamu!” perkataan itu menjawab semua keheranan murid-muridnya.
Jia menatap Bu Yuri tak percaya, gagal deh misinya buat gak ikut pelajaran. L
********
“Nak!”
“Saya?” Nichkhun menunjuk dirinya sendiri.
Pak Kim mengangguk, Nichkhunpun menghampiri Pak Kim, sopir Jia.
“Apa kamu kenal gadis ini, dia murid baru di sekolah ini!” Tanya Pak Kim sambil memperlihatkan foto Jia dihpnya pada Nichkhun.
“Oh, dia, Jia si gadis pembuat ulah?” Pak Kim mengangguk.
NichKhun mengangguk, “Dia teman sekelas saya, tapi saya liat kelas kosong, sudah tidak ada siapa-siapa lagi, kemungkinan dia sudah pulang!”
“Neng Jia!” Seru Pak Kim frustasi, “Neng kemana sih?”
“Bapak siapanya ya? Ada perlu apa mencari Jia, bapak sepertinya terlihat begitu khawatir!”
“Saya sopirnya, sudah 3 hari neng Jia tidak pulang ke rumah. Dia itu dari luarnya saja dingin, tapi dalamnya begitu rapuh, saya takut terjadi apa-apa sama Neng!”
“Bapak tidak usah khawatir, tadi saya liat dia baik-baik saja, besok jika saya bertemu dia, akan saya sampaikan kekhawatiran bapak!”
Pak Kim menatap Nichkhun penuh rasa terima-kasih, “Bapak titip neng Jia ya, semua ulah yang neng Jia lakukan adalah sikap yang neng Jia tunjukkan untuk melindungi rasa sakit hatinya!”
“Sakit hati?”
Pak Kim mengangguk, “Neng Jia selalu berusaha memprotect dirinya dan tak membiarkan semua orang tahu bahwa dia lahir dari keluarga broken home!”
********
Tuk… tuk… tuk…
Jia mendriblle bola basketnya, kemudian berusaha memasukan bola ke ring beberapa kali, tanpa istirahat dan tiba-tiba ia salah melompat dan kakinya terkilir.
“Hufhhhhh!”
“Kaki kamu nggak apa-apa kan?” tanya Nichkhun.
Jia menjatuhkan tatapan pada Nihkhun dengan sedikit mendongak karena Nichkhun tepat berada di depannya.
Jia bangun kemudian menggerak-gerakkan kakinya, “Gak liat?” serunya dingin. Namun tiba-tiba ia terjatuh lagi karena rasa sakit dikakinya tak bisa ditahan lagi.
“Huh, bener-bener gak keren!” biskik Jia pada dirinya sendiri, iapun menahan malu karena ulahnya barusan.
Ia menatap Nichkhun, Nichkhun tersenyum melihat Jia.
“Jangan senyum, gak ada yang lucu!” seru Jia masih dingin kemudian meraih handuk yang ada dibahu Nichkhun kemudian mengelapkannya pada seluruh bagian tubuhnya yang basah, “Kenapa lu masih disini?”
“Kamu sendiri?”
“Gak liat gua habis main basket?”
“Itu mungkin alasan kesekian, jangan bilang alasan pertamanya kamu gak punya tempat buat pulang?”
“Lu?” Jia mengerutkan kening, “Darimana lu tau gua kagak punya tempat untuk pulang?”
“Supir kamu sangat menghawatirkan kamu!”
Jia tersenyum.
“Papa mama kamu juga!”
“Papa Mama gua?” Jia tersenyum pahit, “Gua matipun mereka gak peduli!” serunya dengan mata berkaca-kaca.
Nichkhun menyerahkan sekotak coklat,. “Kata orang coklat bisa menghilangkan kesedihan!”
“Kesedihan? Gua gak lagi sedih!”
“Saat kamu berkata dingin seperti itu, entah kenapa kamu sepertinya menunjukkan ekspresi begitu menyedihkan dan begitu kesepian!”
“Pergilah!”
Nichkhun tersenyum, senyumnya sangat indah. Wajahnya yang seperti malaikat terlihat makin bersinar, “Makanlah coklat ini dulu!”
Jia meraihnya dan langung memakan coklat itu, tapi tiba-tiba ia tersedak. Nichkhun tersenyum, “Makanya hati-hati!”
“Ukhuk-ukhuk-ukhuk enapa coklatnya pahit?”
“Apa kamu tau bagaimana supaya ddak terasa pahit?”
“Bagaimana?” tanya Jia masih dingin.
“Makanlah sambil menatap wajahku, coklat itu pasti akan terasa manis saat kamu makan sambil menatap wajaku yang tampan dan imut!”
Jia tak bisa memungkiri ketampanan Nichkhun, diapun tidak bisa tidak menyunggingkan senyumnya mendengar banyolan Nichkhun barusan, namun tiba0-tiba air matanya menetes, iapun tak sanggup lagi menahannya, Jiapun menangis, Nichkhun memeluk Jia, mencoba member Jia kehangatan.
Setelah tangis Jia mereda, Nichkun menghapus air mata Jia, “Biasanya wanita terlihat sangat cantik jika menangis, tapi sepertinya air mata sangat tidak cocok untuk Jia si pembuat onar!”
Jia mendorong Nichkhun, merasa malu karena telah menangis dihadapannya.
“Tak perlu malu, mulai sekarang kita adalah teman! Jika kamu kesepian dan sedih, datanglah padaku, karena aku akan siap meminjamkan bahuku padamu kapanpun kamu mau!”
********
Semenjak hari itu Jia dan Nichkhun berteman, semenjak hari itu pula Jia tak pernah membuat ulah karena Nichkhun selalu ada disampingnya dan membantunya melakukan apa yang Jia mau, kedekatan Jia dengan Nichkhun jelas sangat memicu kecemburuan cewek-cewek di sekolah, bahkan di facebook dan twitter banyak sekali hatters Jia, tapi Jia tak peduli. Begitu juga Nichkhun. Toh sebelum-sebelumnya juga Nichkhun membalas perhatian dari cewek-cewek itu hanya sekedarnya. Semua cewek menatap dia dengan mata kagum tapi dia malah kadang bersikap acuh tak acuh.
Tapi kenapa Nichkhun bisa berteman dengan Jia, karena Nichkhun merasa hidupnya sama seperti Jia, ibunya meninggal ketika dia dilahirkan dan ayahnya nyaris tak punya waktu untuk dirinya karena sibuk bekerja, ia merasa kesepian sama seperti Jia.
“Ji, kamu tetep gak mau bali ke rumah?”
“Kenapa sih lu selalu bahas itu? Bosen tau dengernya!”
“Kamu tau kan, ayah aku juga hampir gak punya waktu buat aku!”
“Dia sibuk kerja, bukan sibuk selingkuh!”
“Gini deh, coba keluarin fotokamu dan orang tua kamu yang ada di dompet kamu, yang selalu kamu bawa kemanapun kamu pergi!”
“Buat apa?”
“Keluarin aja dulu!”
Jiapun mematuhi perintah Nichkhun, ia mengeluarkan foto dirinya yang tengah berdiri menempelkan kepalanya di bahu kedua orang tuanya, di foto itu semuanya tersenyum bahagia.
Nichgkhun meraih foto itu, “Liat deh papa dan mama kamu, mereka terlihat bahagia sekali, seneng pasti ngeliat foto itu!”
“Keadaannya udah berbeda!” Jia menyenderkan kepalanya di bahu Nichkhun, Nichkhunpun menyenderkan kepalanya diatas kepala Jia.
“Pernah gak sih lu pikirin, bahwa suatu hari lu gak bisa lagi liat senyum mereka, bukan karena berpisah, tapi karena mereka meninggal. Kita manusia, gak akan pernah tahu kapan nafas ini tiba-tiba berenti, gimana kalo mereka meninggal saat kamu gak bisa peluk mereka, saat kamu jauh dari mereka, saat kamu bahkan membenci mereka!”
Jia menatap Nichkhun nanar, berbagai rasa berkecamuk dalam dadanya, ia memang sangat marah pada papa dan mamanya. Tapi kalau mereka meninggal? Itu benar-benar tak terpikirkan olehnya, kalau saja ia bisa meminta, ia bahkan ingin meninggal sebelum ayah dan ibunya meninggal.
Jia memeluk Nichkhun, “Tolong ijinkan gua berada dipelukan lu 5 menit aja!”
Nickhun membalas pelukan Jia kemudian mengelus halus rambut Jia sambil tersenyum, ia senang sahabatnya mau pulang kerumah.
“Thank you Khun, Thank you, gua selalu lari dari kenyataan. Lalu lu datang kasih gua keberanian, kasih gua kepercayaan!”
Nichkhun mengangguk-angukan kepalanya, “Sama-sama, so, mulai hari ini berbahagialah! Bahagia tak perlu dicari karena ia ada didalam hati, segimanapun rasa benci lu sama orang tua lu, lu gak boleh nutupin rasa sayang lu dengan kebencian itu, lu malah harusnya jadi jembatan penghubung antara mereka, kali aja mereka bisa akur lagi!”
“Ya… Ya… Ya… akan aku lakukan semuanya, thank you Khun, Thank You!”
So I thank you, thank you, thank you, and I love you, love you, love you, nan amugeotdo motaejwonneunde, neon kkeuteobsi jugiman, haneunde wae. So I thank you, thank you, thank you, and I love you, love you, love you, niga bonaejun sarang ttaemune, naega yeogi seoisseo ireoke…!” Khun menyanyi sambil berbisik tepat ditelinga Jia.
Jia tersenyum kemudian mentoyor kepala Khun, “Gilaaaaa….!”
“Aku serius Ji, saat bersamamu hatiku terasa hangat, kamu adalah wanita yang menarik, kadang aku kehilangan semua indera ku ketika aku bersamamu! Saat sekilas aku melihatmupun, matamu mengingatkanku pada ibu yang sudah meninggal, kamu sangat cantik saat tersenyum dan aku mencintaimu!” Nichkhun kembali memeluk Jia.
Jia tak mampu melepaskan pelukannya karena iapun memiliki perasaan yang sama, “Thank You Khun!” Seru Jia membalas pelukan Nichkhun lebih erat penuh bahagia. Nichkhun benar-benar anugerah untuknya.

********


No comments:

Post a Comment