Pages

Friday 25 November 2011

Cahaya Terang #4


Ben menatap Bianca. Ia sama sekali tak pernah menyangka  akan menyukai gadis seperti Bianca. gadis ceria yang selalu menebar senyum, aneh dan sedikit centil juga kekanakan. Ahhh, benar-benar bukan tipenya. Ia ingin menghindari perasaan itu, namun semua itu sia-sia. Semakin Ben berusaha melupakan dia dan menghapus bayang-bayangnya dari benaknya, Bianca malah semakin berkeliaran diotaknya.
Entah kapan Ben menyadari dirinya mencintai Bianca, yang jelas sekarang ia meyakini bahwa Bianca telah dengan mudah merobohkan pondasinya, jantung Ben berdegup sangat cepat setiap kali Bianca menepuk pundaknya. Dan Ben tak bisa berhenti menatapnya, ya, sejak bmenyadari cinta ini tumbuh Ben selalu mencari sosok Bianca, dan ketika Ben menemukannya, untuk sekejap Ben tak mampu melihat dan mendengar apapun kecuali Bianca, Ben merasa cemburu ketika Bianca tertawa dan dekat dengan laki-laki lain terutama orang yang selalu mengantar jemput Bianca tiap berangkat dan pulang sekolah. Tidak, tidak hanya cemburu, Benpun iri pada laki-laki itu.
Namun karena egonya, Ben tak mampu menuangkan rasanya begitu saja. Ben terlalu takut, ia takut kalau teman-temannya tau ia mencintai gadis yang bahkan selalu Ben acuhkan.
Ben mencari Bianca saat jam istirahat, di Perpus, di Kantin, di ruang UKS, diruang Olahraga,  Di ruang OSIS, di Ruang Guru, Bianca tak ada dimanapun, Ben terus mencari. Pandangannya berhenti, ketika mendapati Biancanya sedang menangis memandangi sebuah kandang kosong di taman belakang sekolah.
Sungguh Bianca terlihat sangat manis ketika menangis seperti itu.  Ben menghela nafas, ia mencoba mensterilkan perasaannya kemudian ia berlari menghampiri Bianca.
Ben menyerahkan sapu tangannya pada Bianca. Bianca menatap sesosok tubuh tinggi, tegap, berbahu lebar, memiliki tatapan mata tajam dan dingin itu dengan seksama. “Ben?” Bianca mengerutkan kening, Bianca tak percaya ben memberikannya sapu tangan, “Yakin lu ngasih sapu tangan ke gua?”
Ben agak salah tingkah, “Hapus air mata lu!” Ia mencoba bertindak  senormal mungkin padahal hatinya bergemuruh dahsyat.
Bianca sedikit mengayunkan sapu tangannya, “Thanks!” iapun menghapus air matanya.
“Kenapa lu nangis sendirian disini? Lu ada masalah?”
Bianca menatap Ben heran, tidak biasanya Ben mau tau urusannya, ada apa dengan Ben hari ini? Apa ini perasaannya saja karena ia merasa hari ini begitu indah, suasana sekarangpun jadi terbawa indah padahal sebenarnya biasa saja? “Lah lu, lu ndiri ngapain disini?”
“Lu belum jawab pertanyaan gua?”
Bianca menatap Ben kembali, “Gak biasanya lu kayak gini?”
“Gua Tanya, lu ada masalah?” Ben mengalihkan pembicaraan.
“Bobo sama Bubu gua ilang, udah 2 hari gak pulang kekandangnya, gua takut terjadi sesuatu sama mereka!”
“Bobo? Bubu?”
Bianca mengangguk, “Iya, mereka kelinci yang gua beli satu minggu yang lalu dan gua taro disini! Gua takut mereka di makan harimau!” air mata Bianca menetes lagi.
“Keseringan nonton sinetron siy lu! Disini mana ada hewan buas? Kalo ada juga, mereka pasti takut sama lu!”
“Hahahaha….! Lu gak lagi sakit kan? Lu Benjamin Martin temen sekelas gua kan?”
Ben mengerutkan kening,
“Baru kali ini gua liat muka lu ada ekspresinya, biasanya kan datar kayak mayat hidup! But, gua suka, lu tau, lu tuh ganteng lagi kalo banyak senyum gitu!”
“Ekhm…!” Ben salah tingkah. "Kayaknya bel bunyi deh, gua masuk kelas duluan!” ben berbalik dan berjalan cepat.
“Eh Tunggu!” Bianca mengejar Ben, “Kenapa gak bareng aja?”
Ben menghentikan langkahnya.
“Kenapa? kok berenti? Hmmm, lu gak pede ya jalan sama cewek secantik gua!”
Tak ada jawaban, kata-kata Bianca barusan benar-benar membuatnya tak nyaman.
“Gua cantik kan? Bener kan?” Ledek Bianca.
Ben menatap mata indah Bianca“Pede!”
“Buktinya muka lu merah, lu terpesona kaaaaaaan?”
Ahhh, gadis itu, memang benar-benar!
“Atau, hmmm atau gossip yang selama ini beredar bener yah, lu gak nanggepin gua karena naksir gua? ahhheyyy!” 
Ben menatap Bianca, Ben tersenyum kemudian mendekatkan wajahnya dengan wajah Bianca “Kalau bener, emang kenapa?”
“Hmmmmm, lupain… gua gak serius kok!” Bianca membalikan tubuhnya.
Ben memegang lengan Bianca, “Kenapa? kok kabur? Atau malah lu yang naksir gua?”
“Hahahahaha… naksir? Gimana bisa gua naksir cowok kayak lu? Please deeehh!”
“Terus kenapa ngehindar?”
“Hmmmm, gua takut aja lu ngapa-ngapain gua!”
“Yeeehhhh Pede, gua kan tadi Cuma mau bilang….!” Ben memenggal kata-katanya, ia kemudian mendekatkan wajahnya lagi pada Bianca, “Ayyooo lariii… pelajaran Pak Bram sekarang, bisa marah dia kalo tau kita terlambat!” Serunya sambil berlari.
Pak Bram adalah guru fisika paling killer di sekolahnya.
Bianca tersenyum, yah… hari ini memang benar-benar indah. Banyak sekali keajaiban yang tak pernah ia bayangkan sekalipun dalam mimpinya. Hidup ini ternyata bahkan lebih dari indah.
Ia berharap Ben bisa seperti ini setiap hari, ya, setiap hari. Lebih baik melihat ben agak aneh daripada melihat Ben yang tanpa ekspresi seperti hari-hari sebelumnya.
“Terima kasih Tuhan atas karunia :D!” seru bathinnya sambil tersenyum menatap langit.

<><><><*********><><><>

No comments:

Post a Comment