Brukkkkkkkkkkkk……
Bianca terjatuh dari ranjangnya. Badanya terasa
gembur dan lemas. Pandangannya beralih pada lengannya, selang infuse, mana
selang infuse? Ia mengerutkan keningnya. Ia menatatap sekitar. Dan mencoba meyakinkan
tatapannnya beberapa kali, ini kamarnya dan bukan rumah sakit. Pandangannya
beralih kesesosok tubuh yang tertidur di ranjangnya. Bianca bangun dan naik kembali ke ranjang.
“Den, Belden… bangun!” Bianca menggoyang-goyangkan
tubuh itu.
Tak ada jawaban, Belden tak peduli, malah ia menutup
telinganya dengan bantal.
Belden adalah sahabat Bianca. Semenjak orang tua
Belden memilih meninggalkan Indonesia dan menetap di Jerman. Belden tinggal di
rumah Bianca, selain Belden sahabat baik Bianca, kedua keluarga mereka juga sebelumnya bertetangga dan bersahabat baik, malah kadang ayah Bianca terlihat lebih
menyayangi Belden ketimbang Bianca sendiri.
Bianca menarik bantal yang menutupi telinga Belden, “Den,
Belden bangunnnn!” Teriak Bianca tepat ditelinga Belden.
Belden tersentak, mengusap-ngusap telinganya, “Apa,
gak bisa ya lu gak ganggu gua?” Belden duduk malas dengan mata setengah
tertutup.
“Ngapain lu di kamar gua? Terus ayah sama ibu mana?”
Belden menjitak kepala Bianca, “Lah semalem kan lu
yang minta gua temenin gara-gara lampu mati!”
Bianca berfikir sejenak. Ya, ia ingat, semalam lampu
memang mati, ia menangis dan meminta Belden menemaninya, ia tak terbiasa bahkan
tak suka dengan gelap.
Lalu kejadian di rumah sakit itu? Apa itu mimpi?
Ahhh, tapi terasa begitu nyata “Bunda, bunda sama ayah mana?” Serunya penuh
harap, ya Bianca amat sangat berharap kejadian rumah sakit itu tak nyata.
“Ya elah, jam seginimah ya masih ekhm-ekheman di
kamarnya!”
“Jadi, jadi ayah sama bunda gak mati? Dan gua, gua,
gua gak dirawat!”
“Lu ngomong apa sih?” Belden mengerutkan kening
“Udah ah, besok gua masuk pagi, gua mau tidur!” Belden membaringkan tubuhnya
tanpa mempedulikan ucapan Bianca.
Bianca menghela nafas lega, matanya berbinar penuh
haru, ahh, syukurlah, itu hanya mimpi.
Untuk meyakinkan iapun turun kekamar bawah, kamar
ayah dan ibunya tidur. Kebetulan kamar itu tak terkunci, pelan-pelan ia
membukanya.
Perasaan haru menyelinap dalam relung dan bathinnya
ketika mendapati ayah dan ibunya sedang tertidur begitu nyenyak. Ia tak kuasa
menahan air matanya, ia menangis, ya, ia menangis bahagia.
Ia kembali ke kamarnya, menatap Belden yang tertidur
di ranjangnya. Ia menatap jam waktu masih menunjukkan pukul 02:05 WIB. Masih terlalu
dini untuk memulai aktifitas. Terbersit sebuah ide jahil dikepalanya, iapun
kemudian mendorong tubuh Belden kuat-kuat sampai sahabatnya yang tampan,
berwajah baby face, dia mempunyai sorot mata yang teduh dan selalu tersenyum
ramah. Model rambut harajuku yang sedikit panjang mempermanis wajahnya.
Kesan cewek-cewek terhadapnya adalah dia cowok yang
tampan, smart juga charming. Namun bagi Bianca
yang sudah mengenalnya lebih dari 4 tahun, semenjak kelas VII SMP, Belden tidak
lebih dari seorang cowok yang usil, penuh dengan ide jahat untuk menjahilinya,
jorok karena suka kentut sembarangan dan menyebalkan.
Belden berdiri, “Lu apa-apaan sih?”
“Gua kan udah gak takut lagi, ngapain juga lu masih
disini!”
“Ohhhh Oke….!” Belden menguap “Kita selesaikan
besok!” Seru Belden berlalu meninggalkan kamar Bianca dan berjalan menuju
kamarnya.
Bianca tersenyum geli, ah baru kali ini ia merasakan
perasaan yang benar-benar lega seperti sekarang “Terima kasih Tuhan, kejadian rumah sakit itu hanya mimpi!”
batinnya sambil menatap langit-langit kamar penuh rasa syukur dan bahagia.
<><><><*********><><><>
No comments:
Post a Comment