Pages

Friday, 25 November 2011

Cahaya Terang #2


Brukkkkkkkkkkkk……
Bianca terjatuh dari ranjangnya. Badanya terasa gembur dan lemas. Pandangannya beralih pada lengannya, selang infuse, mana selang infuse? Ia mengerutkan keningnya. Ia menatatap sekitar. Dan mencoba meyakinkan tatapannnya beberapa kali, ini kamarnya dan bukan rumah sakit. Pandangannya beralih kesesosok tubuh yang tertidur di ranjangnya.  Bianca bangun dan naik kembali ke ranjang.
“Den, Belden… bangun!” Bianca menggoyang-goyangkan tubuh itu.
Tak ada jawaban, Belden tak peduli, malah ia menutup telinganya dengan bantal.
Belden adalah sahabat Bianca. Semenjak orang tua Belden memilih meninggalkan Indonesia dan menetap di Jerman. Belden tinggal di rumah Bianca, selain Belden sahabat baik Bianca, kedua keluarga mereka juga sebelumnya bertetangga dan bersahabat baik, malah kadang ayah Bianca terlihat lebih menyayangi Belden ketimbang Bianca sendiri.
Bianca menarik bantal yang menutupi telinga Belden, “Den, Belden bangunnnn!” Teriak Bianca tepat ditelinga Belden.
Belden tersentak, mengusap-ngusap telinganya, “Apa, gak bisa ya lu gak ganggu gua?” Belden duduk malas dengan mata setengah tertutup.
“Ngapain lu di kamar gua? Terus ayah sama ibu mana?”
Belden menjitak kepala Bianca, “Lah semalem kan lu yang minta gua temenin gara-gara lampu mati!”
Bianca berfikir sejenak. Ya, ia ingat, semalam lampu memang mati, ia menangis dan meminta Belden menemaninya, ia tak terbiasa bahkan tak suka dengan gelap.
Lalu kejadian di rumah sakit itu? Apa itu mimpi? Ahhh, tapi terasa begitu nyata “Bunda, bunda sama ayah mana?” Serunya penuh harap, ya Bianca amat sangat berharap kejadian rumah sakit itu tak nyata.
“Ya elah, jam seginimah ya masih ekhm-ekheman di kamarnya!”
“Jadi, jadi ayah sama bunda gak mati? Dan gua, gua, gua gak dirawat!”
“Lu ngomong apa sih?” Belden mengerutkan kening “Udah ah, besok gua masuk pagi, gua mau tidur!” Belden membaringkan tubuhnya tanpa mempedulikan ucapan Bianca.
Bianca menghela nafas lega, matanya berbinar penuh haru, ahh, syukurlah, itu hanya mimpi.
Untuk meyakinkan iapun turun kekamar bawah, kamar ayah dan ibunya tidur. Kebetulan kamar itu tak terkunci, pelan-pelan ia membukanya.
Perasaan haru menyelinap dalam relung dan bathinnya ketika mendapati ayah dan ibunya sedang tertidur begitu nyenyak. Ia tak kuasa menahan air matanya, ia menangis, ya, ia menangis bahagia.
Ia kembali ke kamarnya, menatap Belden yang tertidur di ranjangnya. Ia menatap jam waktu masih menunjukkan pukul 02:05 WIB. Masih terlalu dini untuk memulai aktifitas. Terbersit sebuah ide jahil dikepalanya, iapun kemudian mendorong tubuh Belden kuat-kuat sampai sahabatnya yang tampan, berwajah baby face, dia mempunyai sorot mata yang teduh dan selalu tersenyum ramah. Model rambut harajuku yang sedikit panjang  mempermanis wajahnya.
Kesan cewek-cewek terhadapnya adalah dia cowok yang tampan, smart juga charming.  Namun bagi Bianca yang sudah mengenalnya lebih dari 4 tahun, semenjak kelas VII SMP, Belden tidak lebih dari seorang cowok yang usil, penuh dengan ide jahat untuk menjahilinya, jorok karena suka kentut sembarangan dan menyebalkan.
Belden berdiri, “Lu apa-apaan sih?”
“Gua kan udah gak takut lagi, ngapain juga lu masih disini!”
“Ohhhh Oke….!” Belden menguap “Kita selesaikan besok!” Seru Belden berlalu meninggalkan kamar Bianca dan berjalan menuju kamarnya.
Bianca tersenyum geli, ah baru kali ini ia merasakan perasaan yang benar-benar lega seperti sekarang “Terima kasih Tuhan,  kejadian rumah sakit itu hanya mimpi!” batinnya sambil menatap langit-langit kamar penuh rasa syukur dan bahagia.

<><><><*********><><><>

No comments:

Post a Comment