Bianca membuka matanya dengan susah payah. Bayangan
yang semula samar, lama kelamaan mulai terlihat semakin jelas. Gadis manis
bertubuh mungil, berambut hitam tergerai dan memiliki tatapan mata yang tajam
itu menyapu ruangan dengan tatapan sekilas. Ada Belden dan Bulan yang tertidur
dikursi disamping kanan dan kirinya.
Hatinya mendadak panas, ia tak mampu lagi menahan
air matanya. Ia menggapai lengan Bulan dan menggenggamnya erat. Ada rasa yang
tak mampu ia ungkapkan dengan mudah.
“Kak, Kak Bia… apa ini tangan kakak? Apa kakak sudah
bangun?” Bulan tak mampu menahan rasa leganya.
Mendengar perkataan Bulan barusan, Beldenpun terbangun
matanya langsung tertuju pada Bianca. “Bi… Syukurlah…!”
Kepala Bianca masih terasa sangat berat, ia menatap
selang infuse ditangannya, “Ayah sama Bunda mana, Lan?”
Bulan dan Belden diam.
Bianca berpikir sejenak, kepalanya semakin berat, pikirannya
menerawang. Saat itu, tiba-tiba saja sorot lampu begitu terang berasal dari
sebuah truk besar dari tikungan jalan yang melaju begitu kencang menyilaukan mata. Besama cahaya
itu terdengar suara klakson dan gemuruh roda truk.
“Aaaayyyyyaaaaaahhhhhh awaaaaassssss…….!” Jerit
bunda dan Bianca bersamaan.
Reflex ayah membuang stir kekanan. Bianca merasakan
gncangan yang dahsyat membolak-balikan tubuhnya, dan sekejap kemudian semuanya terasa
hitam, kelam dan gelap.
Air mata Bianca menetes lagi, ia tersadar dari
lamunanya, ia menatap mata adiknya tajam. “Ayah dan Bunda mana?”
“Kak, kakak jangan banyak gerak dulu!”
“Iya Bi, kondisi kamu masih belum stabil!”
Rasa khawatir dan takut semakin menyergapnya, “Mereka
dimana?” teriak Bianca.
Mendadak ruangan menjadi sunyi sarat kesedihan. “Bulan,
bilang sama kakak, mereka dimana?”
Bulanpun tak kuasa menahan air matanya, ia meraba
wajah Bianca menghapus air matanya, “Mereka sudah pulang kak, pulang
kerumahNya!”
“Bohong…. Kamu pasti bohong kan, Lan? Kamu bohong!”
Bianca menjerit. “Bilang sama kakak, bilang kalau kamu bohong!”
“Istighfar kak, istighfar… mereka sudah tenang
disana!”
Bianca meronta, menjerit, menangis, menuangkan
kesedihannya. Belden memeluknya erat. “Tenang bi, tenang!”
Bianca melepaskan pelukan Belden ia kemudian menatap
mata Belden penuh kesedihan, air matanya tak pernah berhenti menetes. “Ini
bohong kan? Bilang ini bohong!”
Belden memeluk Bianca lagi, Bianca meronta, berusaha
melepaskan pelukan Belden, namun Belden malah makin mempererat pelukannya,
Bianca memukul-mukul dada Belden, “Ini bohong, pasti bohong!” Suara Bianca
makin melemah, “Kalian pembohong, bohong! Bohong!” serunya sampai ia kembali
tak sadarkan diri.
***********
No comments:
Post a Comment