Pages

Wednesday, 23 November 2011

Cahaya Terang #1


Bianca membuka matanya dengan susah payah. Bayangan yang semula samar, lama kelamaan mulai terlihat semakin jelas. Gadis manis bertubuh mungil, berambut hitam tergerai dan memiliki tatapan mata yang tajam itu menyapu ruangan dengan tatapan sekilas. Ada Belden dan Bulan yang tertidur dikursi disamping kanan dan kirinya.
Hatinya mendadak panas, ia tak mampu lagi menahan air matanya. Ia menggapai lengan Bulan dan menggenggamnya erat. Ada rasa yang tak mampu ia ungkapkan dengan mudah.
“Kak, Kak Bia… apa ini tangan kakak? Apa kakak sudah bangun?” Bulan tak mampu menahan rasa leganya.
Mendengar perkataan Bulan barusan, Beldenpun terbangun matanya langsung tertuju pada Bianca. “Bi… Syukurlah…!”
Kepala Bianca masih terasa sangat berat, ia menatap selang infuse ditangannya, “Ayah sama Bunda mana, Lan?”
Bulan dan Belden diam.
Bianca berpikir sejenak, kepalanya semakin berat, pikirannya menerawang. Saat itu, tiba-tiba saja sorot lampu begitu terang berasal dari sebuah truk besar dari tikungan jalan yang melaju begitu kencang menyilaukan mata. Besama cahaya itu terdengar suara klakson dan gemuruh roda truk.
“Aaaayyyyyaaaaaahhhhhh awaaaaassssss…….!” Jerit bunda dan Bianca bersamaan.
Reflex ayah membuang stir kekanan. Bianca merasakan gncangan yang dahsyat membolak-balikan tubuhnya, dan sekejap kemudian semuanya terasa hitam, kelam dan gelap.
Air mata Bianca menetes lagi, ia tersadar dari lamunanya, ia menatap mata adiknya tajam. “Ayah dan Bunda mana?”
“Kak, kakak jangan banyak gerak dulu!”
“Iya Bi, kondisi kamu masih belum stabil!”
Rasa khawatir dan takut semakin menyergapnya, “Mereka dimana?” teriak Bianca.
Mendadak ruangan menjadi sunyi sarat kesedihan. “Bulan, bilang sama kakak, mereka dimana?”
Bulanpun tak kuasa menahan air matanya, ia meraba wajah Bianca menghapus air matanya, “Mereka sudah pulang kak, pulang kerumahNya!”
“Bohong…. Kamu pasti bohong kan, Lan? Kamu bohong!” Bianca menjerit. “Bilang sama kakak, bilang kalau kamu bohong!”
“Istighfar kak, istighfar… mereka sudah tenang disana!”
Bianca meronta, menjerit, menangis, menuangkan kesedihannya. Belden memeluknya erat. “Tenang bi, tenang!”
Bianca melepaskan pelukan Belden ia kemudian menatap mata Belden penuh kesedihan, air matanya tak pernah berhenti menetes. “Ini bohong kan? Bilang ini bohong!”
Belden memeluk Bianca lagi, Bianca meronta, berusaha melepaskan pelukan Belden, namun Belden malah makin mempererat pelukannya, Bianca memukul-mukul dada Belden, “Ini bohong, pasti bohong!” Suara Bianca makin melemah, “Kalian pembohong, bohong! Bohong!” serunya sampai ia kembali tak sadarkan diri.


***********

No comments:

Post a Comment