Banyak orang bilang, “Siapa yang berhasil, harus pintar otaknya!”.
Hmm, aku tidak terlalu sependapat
dengan ungkapan banyak orang di atas, karena bagiku orang yang pintar otaknya
tapi emosional, intelektualnya tidak mandiri. Bukankah orang yang emosional itu
adalah sahabat setan.
Sebuah kisah pernah di ceritakan oleh
guru BK ( bimbingan Konseling ) saat aku aku tengah menempuh pendidikan di
bangku SMA, kisah itu tentang seorang David Colorado, orang terpintar di
zamannya yang tinggal di Negara bagian Amerika Serikat, saat Colorado mendapat
nilai 70 ia menusuk gurunya. Nah, dari sini aku yakin bahwa pintar otak saja
tidak cukup, seseorang bisa di sebut pintar jika ia bisa mengendalikan
emosionalnya, ia bisa sabar dan sadar dalam menghadapi apapun. Karena “Semakin tinggi pohon, semakin dalam
akarnya. Semakin tinggi pohon, semakin berat pula terpaan anginnya!”. Saat si pohon terkena terpaan angin, sang akar
mengendalikan keadaan dengan memperkuat pegangan akarnya pada tanah.
Filosofi pohon adalah salah satu
alasanku mendukung Jokowi, Biar bukan yang terhebat, biar bukan yang terkuat, biar
kau bukan yang terkaya, biar bukan yang sempurna, biar banyak yang menyangsikan
dan biar banyak yang melemahkan ia tetap jadi dirinya, tetap tersenyum
sederhana dan berjuang dengan caranya. Masalah menurut sebagian orang bahwa
semua yang dilakukannya hanya pencitraan, ah aku tak mau ambil peduli.
Yang jelas Jokowi adalah sosok
yang memberi warna lain dalam kertas hidupku, bagaimana tidak, darinya aku bisa
melihat bahwa kebersamaan itu masih tetap dimiliki negara yang sangat aku
cintai ini, bukankah kebersamaan sangat penting dalam suatu negara karena kebersamaan
adalah ikatan atas dasar saling membantu, saling bekerja sama dan saling
percaya? Menurutku, rakyat yang hebat lebih oke dari hanya pemimpin yang hebat.