Setelah lebih dari 5 tahun novel ini jadi pajangan di rak karena malas buat memulai melihat tebalnya hampir 500 halaman, akhirnya aku berhasil menuntaskannya.
Membaca novel ini sama seperti menggali luka. Sebab cantik bukan segalanya, karena CANTIK ITU LUKA dan kecantikan di Novel ini diceritakan membawa petaka, penderitaan dan kepedihan tiada henti.
Novel ini menggelitik karena bahasanya yang vulgar, tidak hanya itu, Novel ini juga jenius, aneh nyeleneh, unik & kadang rumit namun memberi kepuasan sendiri bagi siapa saja yang membacanya.
Novel ini termasuk novel fiksi yang kaya akan isi, kritis, liar, detail, kompleks, lugas dan cerdas. Dan, Eka cukup berhasil menawarkan pengalaman membaca yg berbeda dari penulis lain. Kamu tau? di novel ini semua tokoh terasa begitu hidup, kuat, berkarakter & membekas di otak sampai2 semuanya terasa seperti tokoh utama. Meskipun begitu, tapi sampai akhir Eka berhasil tetap fokus dan mempertahankan konsistensi ceritanya. Susah lohhh itu...
Novel ini jujur saja cukup berat, tapi membuat aku ketagihan membaca lembar demi lembarnya. Apalagi di part2 terakhir. Benar2 gak habis pikir dengan isi otak Eka yang luar biasa. Beliau sangat pandai memberikan kejutan demi kejutan yang tidak bisa ditebak karena kadang diluar nalar. Daya pikir & imajinasi kadang mengerikan, bahkan caranya menggambarkan situasi dengan blak-blakan tak peduli betapapun tragisnya membuat otak aku yang dangkal bilang "kok bisaaa sampe sebegininya???"
Nilai sosial dalam novel ini sangat kental dan bisa kita pelajari, seperti mengapa perempuan yang diperkosa oleh laki-laki harus dinikahkan dengan laki-laki pemerkosanya yang disebutkan berkali-kali di novel ini, seolah berusaha menyadarkan masyarakat, bahwa ITU BUKAN SOLUSI! Hal tersebut bahkan malah akan menimbulkan trauma dan masalah-masalah baru bagi sang perempuan.
Belum lagi kalimat yang sarat makna seperti :
“Semua perempuan itu pelacur, sebab seorang istri baik-baik pun menjual kemaluannya demi mas kawin dan uang belanja, atau cinta jika itu ada!"
Dan, dari kalimat ini:
"Ia sebenarnya waras bukan main, yang gila adalah dunia yang dihadapinya".
Itu adalah beberapa dari sekian banyak ironi-ironi yang ditawarkan oleh Eka, yang sangat bisa kita ambil maknanya. Ya, novel ini juga membuka pikiran kita untuk lebih peka, peka pada perasaan, peka pada lingkungan dan peka pada keadaan.
Tidak hanya nilai sosial, nilai2 agamapun terselip dibeberapa part, sangat bisa dipelajari karena termasuk nilai2 dasar yang mudah sekali diserap. Seperti kutipan di bawah ini:
"Bukan urusan manusia memikirkan Tuhan itu ada atau tidak, terutama jika kau tahu di depanmu manusia satu menginjak manusia yang lain."
Atau kutipan lain, seperti :
”Aku lebih suka masuk neraka karena menghabiskan seluruh hidupku untuk menghilangkan penindasan manusia oleh manusia. Jika aku boleh berpendapat, dunia inilah neraka, dan menjadi tugas kita menciptakan surga.”
Novel ini juga bercerita bahwa sifat dasar laki2 memang rakus. Seperti Krisan, salah satu tokoh di novel ini. Ya Krisan adalah lelaki paling brengsek dan licik yang berada di Halimunda.
Dia berhasil membawa novel ini pada ujung klimaks. Bagaimana tidak, di part2 terakhir, dia membuat hati ini begitu emosional. Ia mencintai Nurul aini, Namun menginginkan tubuh Rengganis. Belum lagi ia bercinta dengan gadis buruk rupa yang merupakan bibinya sendiri. Si Cantik. Dan akhirnya karena kerakusannya ia berani membunuh Rengganis, kemudian menggali kubur Nur Aini dan menyimpannya di kolong ranjang. Gilaaa...
Tidak hanya itu, Adegan perkosaan bertubi-tubi di novel ini juga lumayan bikin meringis. Yang paling diingat dan membuat marah adalah adegan perkosaan Shodancho terhadap Alamanda, sampai ketika mereka menjadi suami & istripun Shodancho tega memperkosa istrinya, dia benar2 tidak bisa mengendalikan nafsu terhadap tubuh istrinya. Padahal diceritakan dia begitu mencintai istrinya tanpa pamrih, tetapi tetap saja dia melukai istrinya lebih dalam sampai dia mendapatkan sang istri dengan perjanjian merugikan. Si mesum penuh nafsu akhirnya merasa menang. Tanpa penyesalan atas perbuatannya, hanya disebutkan sekilas Shodancho merasa perbuatannya salah, itu pun karena melalui perkosaan dia tidak berhasil mendapat anak. Sampai akhir tak ada hukuman adil untuk perbuatannya. Ahhhh, benar2 dibuat tercabik dengan cerita ini.
Aku yakin Eka menyelipkan cerita itu bukan tanpa alasan. Ia ingin kita menggali lebih dalam dan mengambil sesuatu dari kehidupan Shodancho dan Alamanda.
Novel ini memang membahas banyak persolan perempuan secara satir termasuk soal presepsi cantik-jelek seorang perempuan di tengah masyarakat sangat layak diulas lebih dalam.
Meskipun novel ini bagus tapi Aku kurang merekomendasikan jika kamu mencari bacaan yang santai, karena membaca novel ini bikin pikiran terkuras. Kamu tau? Butuh waktu dan tenaga untuk meresapi & memahami secara maksimal.
Tidak disarankan juga untuk kalian yang berperasaan halus dan bertutur lembut. Karena novel ini bener2 campur adukin perasaan, kasar, bikin ngilu, bikin depresi dan yang lebih parah, perasaan yang ditinggalkan novel ini, lumayan cukup bertahan lama, marahnya, keselnya, bencinya, arrrrggghhh... Semuanya!!!
Rating novel ini menurutku 4.8/5.